Laju ambulans meluncur mulus, menembus gerimis yang berderai mesra di ujung malam. Memasuki pemukiman padat. Deretan rumah terlihat sama di kiri-kanan. Bunyi sirine terus meraung-raung memecah keheningan.
Hilman menatap resah kerlap-kerlip lampu berwarna merah dari kejauhan. Dua jam menanti. Harapan itu tiba. Satu keluarga lagi akan mendapat pertolongan. Namun tugas belumlah usai.
Lonjakan kasus penderita Covid di wilayah Kecamatan Harapan Indah semakin tinggi. Dalam sehari, tercatat lima puluh orang terpapar dan harus menjalani isolasi mandiri.
"Ini peringatan keras, Pak! Bila ada warga yang terpapar! jangan menutupi informasi! Covid bukan aib!"
Hilman tidak dapat menahan luapan emosi. Dua jam memendam amarah dan kata-kata. Ia melepaskan omelan pada sosok kepala lingkungan yang tertunduk lesu di hadapan. Kemudian iapun memacu sepeda motornya, tak lama setelah ambulans berlalu.
Dalam benak Hilman menyimpan tanda tanya. Kenapa harus ragu memberikan informasi tentang warga yang terpapar. Padahal gengsi dan status warna zona, tidaklah sebanding dengan nyawa.
Bunyi ambulans, bukankah lebih membuat cemas. Argumentasi omong kosong tentang kepanikan. Tokoh masyarakat, harusnya membuat warga dapat berpikir lebih dewasa.
"Aku butuh tidur!" Hilman merebahkan tubuhnya di sofa. Ia baru selesai mandi malam. Rutinitas tak sehat yang harus diambil setelah berjuang memastikan kesehatan orang lain.
Tangannya iseng meraih handphone di atas meja. Ucapan terimakasih, dan penyemangat dalam group media pesan masih mengalir.
"Eh, si cantik masih bangun!" jemari Hilman berhenti bergulir pada gambar jempol milik Rahma.
Sejak memutuskan menjadi relawan penanggulangan covid. Hilman lebih sering berinteraksi dengan tenaga kesehatan di Puskesmas. Berbeda saat menjalankan tugas sebagai relawan tanggap bencana. Dimana ia lebih banyak waktu di lokasi bencana.