LIMA tahun lalu, kapal penarik tongkang batu bara, sandar di dermaga Batu Ampar. Malam itu, angin kencang dan ombak tinggi menghempaskan haluan ke arah barat.
Nakhoda kapal, memutuskan berlindung ke muara terdekat. Menyelamatkan awak kapal dan sisa muatan yang sudah tumpah ke lautan.
Dari sebuah kedai kopi di tepi dermaga. Marlina mengawasi laju kapal, sudah lima hari tak ada kapal bersandar. Kedai kopi miliknya, sudah rindu pemasukan.
Hujan, baru saja reda. Tali tambat sudah terikat. Mualim turun ke darat, mencari bantuan.
Mualim itu, membawa juru mudi yang jatuh sakit, setelah tiga hari dua malam di hajar ombak.
Melihat hal itu, Marlina berteriak, "hei, tak payah turun. Mantri atau dukun, biarku bawa naik ke kapal."
"Benarke', Ka. Bisa malam ni tiba," jawab sang Mualim.
"Kalau malam ni tak ade', rebahkan di kedaiku saje' lekas," jelas Marlina.
"Boleh la, Ka," ucap sang Mualim.
Mualim membawa juru mudi masuk ke kedai, direbahkan pada dipan bambu beralas tikar. Iapun duduk di sebelahnya.
Mualim itu bernama Bahar, ia meminta dibawakan teh manis hangat, minyak angin, dan selimut untuk juru mudi yang jatuh sakit.