"Abang, Jakarta itu zona merah. Balik ke Batam, jangan bawa penyakit loh," ucap Tahe, sehari setelah saya tiba di Jakarta.
TELEPON seakan tak berhenti berdering dan chat WhatsApp tak berhenti mengalir. Dari direktur utama, staff dan driver, menanyakan perihal kesehatan saya. Hal yang jarang didapatkan dalam aktivitas kerja sehari-hari.
Saya sudah sampaikan, sebelum berangkat ke Jakarta dari Batam. Seluruh protokol kesehatan sudah khatam dilaksanakan. Mulai dari menjalani rapid test, memakai masker, menggunakan hand sanitizer dan menjaga jarak dengan setiap orang.
Urusan dinas di Jakarta, membawa saya pulang ke Tangerang. Mengambil jatah liburan, setelah sebulan lebih mencari nafkah di Batam.
Tiba di rumah, saya tidak langsung bersentuhan dengan istri dan anak-anak. Membersihkan diri dan melaksanakan karantina mandiri selama 3 hari. Tak lupa menjaga kesehatan dengan minum vitamin, makan masakan istri dan berolahraga alakadarnya.
Selepas itu, barulah kewajiban sebagai suami siaga saya laksanakan. Berperan sebagai bapak rumah tangga, mendampingi anak bermain dan belajar. Sementara istri, berkutat dengan aktivitas sosial di PKK tingkat desa.
"Abang, aku kena covid. Padahal gejalanya hanya mules saja pun," ucap Tahe, lima hari setelah saya tiba di Jakarta.
Cukup shock, mendengar kabar demikian. Hingga kekhawatiran akan kondisi tubuh sayapun mulai menyeruak. Terlebih, mules dan pegal-pegal baru semalam saya rasakan.
Namun, saya berusaha tenang dan berpikir jernih. Mengingat selama ini, sudah melaksanakan "ikhtiar" semaksimal yang saya bisa, sejak pertama kali pandemi di Indonesia di umumkan oleh pemerintah.
Meskipun dipandang lebay, menjaga kewaspadaan akan bahaya Covid-19 sudah saya lakukan sejak bulan Maret 2020. Dari mulai menjalani Work From Home di bulan Maret - April 2020. Hingga, menjalankan protokol dan test kesehatan sesuai anjuran pemerintah. Saat bepergian keluar kota, dalam rangka bekerja.