"Wow". Adalah kata yang pertama terucap saat membaca artikel-artikel pada platform Kompasiana, bukan terkejut karena terheran-heran, namun membaca sebuah artikel dengan perspektif yang lain daripada umumnya adalah hal yang langka pada sebuah media mainstream.
Ya Kompasiana tak bisa dilepaskan dari nama besar kompas itu sendiri bukan?
Perkenalan dengan Kompasiana
Awalnya, saya kira Kompasiana adalah jejaring blogs yang dibuat dadakan untuk mewadahi opini masyarakat meramaikan pemilu 2014.
Pada kurun waktu tersebut, begitu luber artikel dari Kompasiana yang masuk kedalam beranda media sosial saya, dengan tema politik berupa opini dan analisis, pun beragam gaya bahasa.
Tapi setelah saya tilik, ternyata konten atau artikel dalam Kompasiana tidak melulu bertema politik, ada tema sosial budaya yang menarik untuk dibaca. Sayangnya saat itu, saya belum terlalu ngeh untuk melihat siapa nama penulis artikel tersebut.
Kompasiana hanya saya kunjungi sesekali, sekedar mencari bahan referensi perihal isu terkini yang tengah banyak dibicarakan oleh teman-teman, biar tidak kurang update lah bahasanya.
Ditahun-tahun berikutnya, saat media sosial begitu membosankan untuk dikunjungi, terlebih saat ini budaya membaca berganti dengan budaya menonton, hingga tautan YouTube dan website streaming film memenuhi beranda media sosial. Dan saya pun mulai meninggalkan media sosial.
Kesibukan bekerja diluar kota membuat saya gaptek dalam urusan platform digital, signal yang angin-anginan kadang lebih dibutuhkan untuk menghubungi keluarga di rumah, maka terjauh lah saya dari informasi digital.
Mulai menulis