Lihat ke Halaman Asli

Indra Darmawan

Reguler Citizen

Purchasing Power Versus Loving Power

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini saya tulis ketika dalam perjalanan dari Pasar Senen ke Kutoarjo menggunakan kereta api Sawunggalih Malam. Iseng-iseng melikuidasi pemikiran-pemikiran yang terjebak pada rerimbunnya kesemrawutan otak di kepala.

Purchasing Power

Pertama-tama, kenapa ya tidak ada frasa kedua-dua, ketiga-tiga, keempat-empat, dan seterusnya? Ah sudahlah, tidak usah dan perlu berpikir-pikir pada bahasa yang semrawut ini.

Pertama-tama, melanjutkan tadi yang terputus. Kita akan menjelaskan apa itu purchasing power. Kedua-dua, Anda (hai para pembaca) bisa jadi tidak ikut dalam penjelasan yang akan saya berikan, jadi kata ganti orang pertama plural diganti menjadi singular: saya (saja).

Apa itu purchasing power? Secara singkat frasa berbahasa Inggris itu diterjemahkan menjadi ‘kekuatan membeli.’ Kekuatan membeli ini dikaitkan dengan kemampuan membeli seseorang atau sesuatu (bisa jadi perusahaan, korporasi, atau badan organisasi) didasarkan pada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Misalnya, ruang fiskal perusahaan tersebut dan kondisi finansialnya. Atau dengan bahasa yang lain: Elo punya duit kagak buat beli itu?

Ingat, kemampuan dan kemauan itu berbeda. Catat! Bisa jadi Anda mau tapi tidak mampu (1); mampu tapi tidak mau (2); atau mau dan mampu (3). Meskipun berbeda, tapi keduanya saling berhubungan. Hubungannya apa? HTS (Hubungan Tanpa Status)? Bukan, bukan, bukan.

Hubungannya bisa jadi kemauan seseorang bisa dilandasi oleh kemampuannya. Contoh, orang yang punya duit 100 miliar besar kemungkinan (atau sekurang-kurangnya memiliki kemungkinan untuk) membeli mobil Alphard atau mobil-mobil mewah lainnya. Tapi berbeda dengan orang yang setiap bulannya bergajian 300 ribu (hei, jangan salah guru-guru SD di pelosok yang bukan PNS [Pegawai Negeri Sipil] gajinya bahkan bisa lebih kecil dari itu lho!). Orang dengan gaji bulanan kurang dari 300 ribu mungkin tak punya keinginan untuk membeli mobil dengan harga selangit itu. Bisa jadi, tau mereknya saja tidak tahu (seperti saya dulu).

Kesimpulannya, purchasing power menentukan (kualitas/kuantitas) komoditas barang beli mereka. Semakin tinggi kualitasnya, maka otomatis purchasing powernya semakin powerful pula.

Loving Power

Nah, konsep purchasing power bisa disamadengankan denganloving power. Bedanya, kalau purchasing power pada konteks ‘membeli’ sedangkan loving power pada konteks ‘mencintai.’

Kita tidak memungkiri bahwa para calon pasangan kita adalah berkelas-kelas, baik kelas-kelas itu kita sendiri yang menciptakan maupun memang sudah secara umum ‘kelasnya seperti itu.’ Sebagai contoh yang ‘kelasnya seperti itu', secara umum adalah warna kulit: kecerahan. Semakin cerah, semakin ganteng atau cantik. Bisa jadi. Pasti setiap orang mempunyai indikator kemenarikan sendiri-sendiri. Akumulasi dari kesamaan indikator setiap individu menjadi ke-umum-an. Sama seperti sepakatnya saya dengan Anda bahwa Chelsea Islan itu cantik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline