Lihat ke Halaman Asli

Galih Prasetyo

TERVERIFIKASI

pembaca

Benarkah Penggabungan Perserikatan dan Galatama Jadi Sumber Masalah?

Diperbarui: 23 November 2018   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suporter Timnas Indonesia | thetanjungpuratimes.com

Kompetisi Perserikatan yang bergulir di Indonesia sejak 1931 dianggap banyak kalangan sebagai kawah candradimuka persepakbolaan di negeri ini. Era Perserikatan merupakan era terbaik sepakbola Indonesia, sejumlah gelar bergengsi sukses diraih oleh timnas. Tidak hanya itu, di level pemain dan klub, Indonesia dianggap sebagai Macan Asia oleh negara-negara lain.

Kompetisi Perserikatan merupakan kompetisi sepakbola yang berlangsung rutin di tiap daerah, nantinya hasil dari kompetisi antar daerah tersebut berujung pada penyeleksian kepada pemain yang akan memperkuat tim untuk pertandingan antar kota.

Saringan yang begitu ketat dari kompetisi di pelosok daerah hingga bisa memperkuat satu tim kota menjadikan era Perserikatan melahirkan bibit-bibit handal sepakbola. Mereka bukan sekedar pemain yang unggul dalam skill namun memiliki mental serta semangat kuat untuk memberikan hasil terbaik di lapangan hijau.

Sebelum Indonesia merdeka seperti dikutip dari data fourfourtwo, Solo dan Jakarta menjadi kota yang paling mendominasi gelar juara di era Perserikatan. Jakarta saat itu diwakili oleh tim Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), cikal bakal Persija Jakarta, sedangkan Solo diwakili oleh Vorstenlandsche Voetbal Bond, cikal bakal Persis Solo. Bandung, Surabaya, Semarang serta Yogyakarta sempat nyempil untuk menaklukkan dominasi dua kota tersebut di era Perserikatan.

Namun setelah Indonesia merdeka dan negeri ini mengalami pasang surut politik, era Perserikatan kemudian mengalami momentum tak mengenakkan saat harus dilebur menjadi satu dengan Galatama, kompetisi yang terselenggara pada 1979. Perserikatan yang dianggap sebagai kompetisi amatir harus dilebur dengan Galatama yang dirancang sebagai kompetisi sepakbola semiprofesional.

Azwar Anas yang saat itu menjadi Ketum PSSI tak mempedulikan suara-suara sumbang yang tak menyetujui dileburnya Perserikatan dengan Galatama. Sejumlah rumor berkembang saat itu, publik menganggap PSSI dibawah kepemimpinan Azwar Anas hanya malu karena Liga Galatama yang mereka buat tak mendapat apresiasi dari publik sepakbola. Publik masih lebih banyak menonton pertandingan Perserikatan dibanding Galatama.

Sebenarnya hal itu menjadi wajar, seperti disebutkan di awal bahwa Perserikatan merupakan kompetisi yang berlangsung rutin di tiap daerah, dan seperti yang kita tahu bahwa bicara militansi sepakbola daerah, suporter Indonesia adalah juaranya, pembentukan Galatama tak melihat faktor budaya tersebut.

Tak bisa dipungkiri memang bahwa Galatama juga jadi bagian manis dari perkembangan sepakbola Indonesia. Kompetisi Galatama bahkan seperti dilansir dari panditfootball jadi panutan untuk Jepang membentuk kompetisi sepakbola.

Sayangnya, penggabungan Perserikatan dan Galatama pun memiliki dampak yang sangat signifikan dan berbuntut panjang bahkan hingga sampai saat ini.

Salah satu dampak yang sangat terasa dari penggabungan Perserikatan dan Galatama ialah soal kompetensi di daerah yang berlangsung rutin serta komersialisasi sepakbola yang belum pada waktunya. Semenjak era Galatama berlangsung, pelosok daerah jadi sepi kompetisi sepakbola, ini dianggap jadi sumber masalah pembinaan sepakbola Indonesia sampai sekarang.

Belum lagi soal komersialisasi yang belum pada waktunya dirasakan insan sepakbola Indonesia ketika penggabungan Galatama dan Perserikatan. Sejumlah kasus suap muncul di era Galatama, kasus yang saat ini seperti sudah jadi rahasia umum di Liga Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline