Edy Rahmayadi sudah selayaknya mundur dari jabatannya sebagai Ketum Umum PSSI. Keinginan publik untuk Edy Rahmayadi mundur semakin besar pasca dipastikannya Timnas Indonesia tersingkir dari Piala AFF 2018. Tagar Edy Out semakin nyaring terdengar di halaman Twitter dan sempat menjadi trending topic.
Publik sudah semakin muak dengan gaya kepemimpinan Edy Rahmayadi dan jajaran petinggi PSSI saat ini. Narasi yang dibangun oleh para pejabat PSSI ini makin hari makin mencerminkan bahwa tidak ada energi positif dari mereka untuk mengelola sepakbola ke arah lebih baik.
Tengok saja pernyataan Sekjen PSSI, Ratu Tisha ketika disinggung soal faktor kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018. Salah satu faktor yang mengemuka dari kegagalan Timnas Indonesia ialah keinginan PSSI untuk terus melanjutkan kompetisi Liga 1 2018.
Tisha seperti dikutip dari viva.co.id enggan untuk menanggapi faktor tersebut, ia justru mengatakan bahwa PSSI mendapat banyak apresiasi karena mampu menyelenggarakan banyak kompetisi sepakbola.
"Tidak ada negara yang berhasil menggelar 10 event internasional dalam satu tahun. Dan ini pencapaian yang telah diapresiasi dalam kongres AFC oleh FIFA dan AFC," tutur Ratu Tisha.
Ini tentu saja narasi ngawur dari pejabat PSSI. Belum lagi jika menilik pernyataan sang ketum, Edy Rahmayadi. Sangat tidak logis, tak menguasai bidang organisasi yang ia pimpin, dan lebih banyak mengedapankan egonya sebagai pimpinan berlatar belakang militer.
"Permainan Timnas Indonesia keluar dari apa yang sudah diformatkan, keluar dari apa yang sudah dilatihkan, keluar dari apa yang sudah diprogramkan. Ini yang akan kita evaluasi, kenapa demikian?" kata Edy saat ditanya soal raihan Timnas di Piala AFF 2018.
Pertanyaannya, memang apa format dan program apa yang dicanangkan oleh PSSI untuk Timnas Indonesia yang berlaga di Piala AFF 2018? Penunjukkan Bima Sakti untuk menggantikan posisi Luis Milla menjelang detik-detik kick off Piala AFF 2018 saja sudah menunjukkan bahwa PSSI sejatinya tak memiliki format dan program yang jelas untuk Timnas Indonesia.
Tetap memaksakan kompetisi liga berlangsung di tengah timnas akan berlaga di satu kompetisi yang ditargetkan untuk menjadi juara saja sudah menunjukkan bahwa PSSI tak memiliki program jelas untuk dilatih oleh para penggawa Timnas.
Bagaimana mungkin seorang pelatih timnas yang ditunjuk mendadak mampu memiliki format latihan baku ditengah konsentrasi pemain terpecah karena kewajibannya profesionalnya di klub?
Ukuran kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 hanya satu dari seklumit masalah sepakbola negeri ini yang tak mampu diurai dengan sederhana dan tepat sasaran oleh Edy Rahmayadi dan jajarannya di PSSI. Opsi untuk meng-instal ulang PSSI dan menyerabut para petinggi PSSI saat ini mau tak mau memang harus dilakukan untuk membuat kondisi sepakbola kita tidak terus terpuruk.