Pagi ini, Senin 15 Oktober 2018, saya membaca siaran pers yang dibagikan oleh salah satu fotografer senior, Arbain Rambey di halaman Facebook pribadinya. Siaran pers tersebut berisi pemberitahuan penghargaan kepada lima jurnalis heroik peliput gempa palu.
Merinding saya membaca siaran pers tersebut. Kisah perjuangan para jurnalis ini begitu menginspirasi, mereka bukan sekedar melaporkan kondisi terkini namun juga mendahulukan hati nurani untuk membantu warga di gempa Palu yang kemudian disusul dengan gelombang tsunami.
"Kisah heroik lima jurnalis tv saat terjadi tsunami dahsyat di Pelabuhan Pantoloan telah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Donggala, Sigi, dan Palu. Mereka adalah Abdy Mari (tvOne), Ody Rahman (NET.), Rolis Muhlis (Kompas TV), Jemmy Hendrik (Radar TV), dan Ary Al-Abassy (TVRI) Kisah heroik lima jurnalis tv saat terjadi tsunami dahsyat di Pelabuhan Pantoloan telah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Donggala, Sigi, dan Palu. Mereka adalah Abdy Mari (tvOne), Ody Rahman (NET.), Rolis Muhlis (Kompas TV), Jemmy Hendrik (Radar TV), dan Ary Al-Abassy (TVRI), yang Jumat petang itu (28/09), sekitar pukul 15.00 WITA, turun dari Kota Palu menuju Kecamatan Sirenja di Kabupaten Donggala untuk meliput dampak gempa 5,9 SR yang terjadi satu jam sebelumnya, pada pukul 14.00 WITA. Kabarnya, ada korban meninggal akibat bangunan ambruk.," tulis pernyataan pers tersebut.
Jemmy Hendrik dari Radar TV di siaran pers tersebut berteriak lantang sesaat gempa terjadi, "itu tsunami". Teriakan itu menyadarkan beberapa orang di sekitarnya yang tengah menolong orang lain yang terjatuh dan tengah merekam peristiwa itu dengan telepon genggam mereka. Ada bahaya besar di depan mata mereka. Mereka pun ikut berteriak sekeras-kerasnya memperingatkan semua orang. "Lari.., lari, tsunami, tsunami..!"
"Kami langsung masuk mobil dan putar balik," cerita Abdy. "Kami lihat banyak orang lari ke sana ke mari. Kami buka pintu dan menarik beberapa masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan tercekam."
Ody Rahman dari NET TV langsung tancap gas menuju ke tempat lebih tinggi, di dalam mobil para jurnalis ini sejumlah warga juga ikut naik. Cerita Abdy di dalam mobil tersebut ada 12 warga yang ikut ke dalam mobil.
"Kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada duabelas orang yang ikut kami. Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu,"
Di siaran pers tersebut disebutkan bahwa para jurnalis Palu ini tentu saja panik karena tak bisa menghubungi keluarganya namun masih memiliki nurani untuk menolong orang lain. "Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami," tutur Ody.
Meski berada di kondisi yang mungkin tak semua orang bisa berpikir jernih, para jurnalis ini tetap menjalankan tugas mereka merekam peristiwa tersebut untuk kepentingan berita. 30 menit setelah peristiwa itu terjadi, kelima jurnalis ini memutuskan untuk kembali ke Palu.
Perjalanan kembali ke Palu tidak mudah. Mereka harus melewati banyak bangunan runtuh dan sempat sempat membantu seorang ibu yang terjepit di reruntuhan bangunan di daerah Kelurahan Mamboro. "Kami berhenti dan membawanya ke tempat aman. Tampaknya ada tulang yang patah," tutur Ody.
Tiba di Palu, salah satu jurnalis Abdy harus pontang panting mencari keberdaan anak keduanya, Andra yang masih duduk di sekolah dasar. Andra terpisah dari dari istri dan anak pertamanya yang telah mengungsi.