Lihat ke Halaman Asli

Galih Prasetyo

TERVERIFIKASI

pembaca

Pantaskah Sepak Bola Identik dengan Kekerasan?

Diperbarui: 16 September 2018   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bentrok suporter sepakbola | getty images

Sepakbola identik dengan kekerasan. Siapa yang bisa membantah pernyataan itu. Hampir di semua penjuru bumi, selalu ada kekerasan atas nama sepakbola.

Bahkan di negara yang memiliki tingkat kriminalitas terendah, Swiss juga terjadi kekerasan berlatar sepakbola. Tengok saja laga antar FC Basel vs FC Zurich, selalu berakhir dengan kekerasan.

Kekerasan dan sepakbola seperti sudah menjadi satu kesatuan. Sulit terpisahkan. Tak heran jika Margaret Thatcher sempat mengeluarkan larangan bermain sepakbola di Inggris usai tragedi Heysel 1985.

Politikus berjuluk Wanita Tangan Besi itu sudah tak bisa lagi mentolerir kekerasan demi kekerasan yang dilakukan para hooligan Inggris.

"Kami pastikan permainan sepakbola dihentikan terlebih dahulu sebelum hooliganisme dibersihkan. Setelah itu, mungkin baru sepakbola kita bisa bermain di luar negeri lagi," kata Margaret seperti dinukil dari thesun.co.uk

Kekerasan di sepakbola memang tak mengenal batasan, bisa terjadi di negara yang katanya maju secara peradaban dan teknologi, juga bisa terjadi di negara dunia ketiga. Soal kadar kekeasannya pun tak jauh berbeda.

Banyak kajian sosilogis soal pertautan kekerasan dan sepakbola. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Faktor-faktor pendorong kekerasan jadi bagian dari sepakbola? Solusi konkrit apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan kekerasan dari sepakbola? dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Jika menilik dari kacamata fanatisme, kita akan melihat bahwa suporter sepakbola bisa melakukan kekerasan bisa didorong karena faktor sosial budaya dan ekonomi.

Si suporter melihat bahwa sepakbola ialah olahraga keras, olahraga lelaki kaum pekerja, olahraga bagi komunitasnya dan klub sepakbola yang mereka dukung sebagai bagian hidup dan citra diri. Saat klub yang mereka cintai diusik, solusinya hanyalah lewat cara kekerasan.

Faktor budaya dan sejarah politik masa lalu juga menjadi pendorong aksi kekerasan di lapangan hijau. Faktor ini banyak kita temui di sejumlah kekerasan yang terjadi di negara-negara Eropa.

Sejarah sekterian misalnya menjadi pendorong bagi suporter Glasgow Celtic menghujani tubuh suporter Glasgow Rangers dengan pukulan dan tendangan. Begitu juga sebaliknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline