Jaman dulu ada yang namanya gila ABRI, orang yang punya cita-cita ingin menjadi ABRI tapi nggak kesampaian. Lalu, orang itu merubah gaya tampilan layaknya seorang tentara.
Rambut di potong cepak, baju loreng lengkap dengan aksesoris berikut pangkatnya. Kemudian jalan petentang petenteng, setiap orang lewat dipalak-palakin, kios-kios toko dipajekin, bahkan ada yang berani nilang kendaraan bermotor.
''Namanya juga ABRI gadungan. ABCD (Abri Bukan Cepak Doang).''
Semakin lama orang-orang dibuat kesal karena ulahnya. Orang yang punya akal pasti mikir, ''Masa iya sih ada ABRI kerjanya malak-malakin orang? Dia kan pengayom dan pelindung rakyat!''. Akhirnya ABRI gadungan itu dilaporkan dan ditangkap oleh petugas, dihukum sesuai dengan kesalahannya.
Kalau jaman sekarang ada yang lebih gila lagi, namanya ''Gila Politik''. Saking fanatiknya terkadang omongannya suka ngawur. Omongan bener dicela, omongan salah dicela, orang ngasih nasehat dicelanya juga. Pokoknya apapun yang dilakukan lawan politiknya selalu nampak salah di matanya. Apalagi kalau ada orang yang tidak sependapat dengannya, pasti dianggapnya musuh.
''Nah, kan! Jadi gila beneran!'' :D
Repot kalau sudah terjebak dalam situasi seperti itu. Soalnya nggak sadar kalau dirinya sudah menjadi pendengki, karena selalu menyalahkan oranglain. Kalau perbuatan baik dan buruk hanya menuruti perasaan diri sendiri dan golongannya, akibatnya akan jadi seperti itu, jadi pembenci.
Kata Simbahku : ''Orang gila sing mlaku turut ndalan kae ora iso nulari koe, jadi nggak usah takut ketularan. Sing iso nular itu mung penyakit kebencian, molakne akeh banget sing ketularan jadi pembenci.''
Sosial media memang memudahkan dan memberi kita kebebasan untuk berexspresi dan berpendapat. Kebebasan berpendapat itu seringkali membuat kita salah arah. Banyak diantara kita yang tadinya berteman baik kini menjadi musuh, hanya karena perbedaan politik dan status golongan.
Sudah tidak aneh, ketika ada suatu kejadian perkara yang menyangkut soal politik mendadak banyak sekali orang yang menjadi pakar di Media sosial. Seolah-olah dia yang paling tau, paling mengerti, paling benar, lalu menghakimi dan menyalahkan orang yang tidak sependapat dengan dirinya.
Apalagi jika sudah memasuki masa-masa pilkada atau pemilihan presiden. Media sosial menjadi semakin miskin bahasa, cuma punya 2 kosa kata : Membenci atau dipuji, menghujat atau mendukung, iblis atau malaikat.