Lihat ke Halaman Asli

Budaya Pasturisme dalam Islam?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dalam ajaran agama Islam tidak ada istilah Pastur ---maaf untuk yang kristiani, tidak maksud menciderai pergaulan antar agama---, akan tetapi dalam perkembangan dzikir dan perilaku kultur Islam ada intrik-intrik ke arah pola hidup pasturisme.  Pasturisme yang dimaksud dalam wacana islam adalah seseorang yang enggan kawin, dan atau perilaku hidup yang terlalu condong terhadap kepentingan ukhrawi dan menganggap tercela urusan duniawi. Rasulullah Saw menegaskan bahwa di dalam islam tidak ada pastur.
Rupanya peran agama bagi manusia di dunia ini telah dikalahkan oleh imitasi hidup. Agama bertugas mengembalikan manusia ke jalan Tuhannya pada setiap periode, sejak periode Nabi Adam as sampai nabi Muhammad saw. Dan kajian history menunjukkan selama ini agama slalu dikalahkan oleh peradaban hidup manusia itu sendiri, baik melalui pintu nafsu manusia itu sendiri atau gaya hidup. Dan agama selalu menjadi kambing hitam. Atas nama agama, banyak orang  saling menghancurkan antar sesama, atau menyesatkan yang lain dan membenarkan dirinya sendiri. Sekali lagi, agama menjadi kambing hitam, dan bukan sebagai way of life bagi masing-masing hidup kelompok masyarakat atau indifidu. Islam sebagai agama, yang nyaris dijauhi oleh umatnya, dan mereka (kita.....he...he...he...) lebih memilih idiologi dan konsep lain sesuai tafsirnya sendiri, dan konsep agama kadang hanya dianggap perlu ketika menjalankan shalat atau zakat saja. Misal dalam dunia bisnis, bagi pebisnis muslim cenderung lebih dominan “permainan dan hukum bisnis” di pasar daripada etika ajaran agama Islam tentang bisnis (muamalah). Yang paling fatal adalah idiologi itu sendiri, sudah berani ditafsirkan sesuai keinginan nafsunya (faktor manusia-nya) daripada faktor wahyu (Al Qur’an hadits), sehingga kesan agama (hidup beragama) lahir dari pemikiran dan tafsirnya sendiri. Apa yang terpikirkan, itulah yang benar ! Padahal sangat jauh dan jauh !
Faktor idiologi yang saya maksud misalnya, etika dzikir atau majelis dzikir ; sekelompok saudara kita yang menekuni dunia “majelis dzikir” melalui majelis atau thariqoh --- maaf--- kadang terlalu berlebihan, dan kurang memperhatikan makna perilaku agama yang harus seimbang antara kepentingan dunia dan akherat (lihat doa sapu jagad). Terlalu asyik, mabuk, atau bernikmat-nikmat dalam ladzatudz dzikri sering menyapu habis akal-akal muslim muslimah, sehingga pekerjaannya hanya dzikir dan dzikir, sementara urusan dunia di anggap kurang penting.  Pernah Rasulullah Saw pada waktu Abu Dzar Al Ghifari ra. (kalau tidak salah) dan teman-teman, para istri mereka demo kepada rasulullah Saw, dan melaporkan bahwa suami mereka tidak mengurusi istri dan anak-anak di rumah. Kemudian Rasulullah Saw memanggil dan menasehati mereka.
Demikian juga kaum muslim muslimah yang jauh dari dzikir, terlalu dominan dalam kesibukan akliyah, misal pekerjaan, tugas, amanah, profesuinalitas, dan agama hanya dijadikan kebutuhan biasa.
Dua faktor ini yang saya maksud, bahwa di dalam Islam ada pasturisme, yakni perilaku hidup hanya mementingkan akherat saja dan menganggap cela urusan dunia. Yang bijaksana adalah kembali pada konsep awal, yakni rana keseimbangan urusan dunia dan akherat. Melakukan aktifitas duniawiyah seolah-olah hidup selamanya, dan ketika memasuki rana ukhrawiyah (beribadah) seolah-olah mati besok, dan keduanya dimotori dengan cara yang seimbang.
Maaf...., agak sedikit “melangit..., sok...., dan sombong,” tapi gk pa2, lah ! itung-itung ada kerinduan yang mendalam ke arah samudrah ilahiyat




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline