Lihat ke Halaman Asli

Karapan Sapi, Wisata Rakyat dari Madura

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_145139" align="aligncenter" width="640" caption="Histori; Karapan Sapi dilakukan Setelah Panen"][/caption] Lima hari yang lalu wisata budaya karapan Sapi di Madura terselenggara dengan baik. Ajang budaya tersebut merebutkan piala presiden se-Eks Karesidenan Madura, Jawa Timur di lapangan Soenarto Hadiwidjojo Jl Stadion Pamekasan, 23-25 Oktober 2011. Acara terselenggara dengan tertib atas kerjasama rakyat, pemerintah, dan instansi terkait. Sebelum acara dimulai ada warning dari pemerintah melalui MUI tertanggal 18 Oktober 2011, agar pelaksanaan kegiatan karapan sapi tidak melakukan penyiksaan terhadap hewan pembalap. Juga masyarakat tidak melakukan perjudian melalui taruhan antar warga. Hal ini untuk menggantisipasi kericuhan antar warga yang temperament, serta pembiasaan carok sisi negatif dalam menyelesaikan permasalahan antar warga. Walaupun keputusan MUI kurang diperhatikan oleh warga, akan tetapi ajang wisata budaya tetap berjalan dengan baik dan memuaskan. Madura bagian dari propinsi Jawa Timur. Lahan tanahnya panas, keras, bebatuan, sehingga terkenal dengan petani tambak garam dan tembakau. Wilayah geografis yang sempit, panas, padat dan kaku mendorong penduduk Madura suka merantau ke berbagai kota di Indonesia. Bahkan di luar Negeri. Karakter masyarakatnya keras, ulet, sedikit absolutsm, dan pantang menyerah, sehingga mudah berinteraksi dengan penduduk setempat sangat "percaya diri" dalam melakukan aktifitas hidup. Walaupun penduduk Madura Jawa timur terhitung banyak yang merantau, mereka yang setia dengan pulaunya masih banyak, dan tetap memegang teguh tradisi kebudayaan daerahnya. Salah satu satu wisata budaya yang masih eksis adalah karapan sapi. Budaya karapan sapi muncul di Madura bermula dari pesta panen. Berdasarkan cerita tutur karapan sapi dimulai pada abad ke-13. Rakyat Sapudi Sumenep merasa gembira dengan keberhasilan panen, dan Pangeram mereka (Pangeran Tetandur, berdasarkan tutur tadi) menyuruh masyarakat mengadakan pesta rakyat. Sapi hewan pembajak sawah setelah melakukan kerja keras sekitar 6 bulan lalu diajak pesta dengan adu balap sapi. Budaya pesta setelah panen bersama sapi para petani itu disebut Karapan sapi. Karapan sapi menggunakan 2 sapi berpasangan. Kedua leher sapi terkait dengan satu kayu, istilahnya disebut "pangonong," dijawa bernama "pasangan," dan terkait antara kedua sapi yang berjajar ke depan. Dari kayu pangonong ini ada "kaleles," yakni kayu tumpang yang dinaiki oleh Joki dalam berkarapan sapi. Joki tersebut yang mengendalikan lari kedua sapi hingga finis. Cara menghentakkan lari sapi kerapan ada yang dengan suara tinggi, sementara Joki memukul pantat sapi dengan kayu. Larangan MUI tentang penyiksaan sapi ketika para Joki atau pemilik sapi menghentakkan kecepatan lari sapi dengan pukulan kayu uang yang diberi paku. Sapi lari sekencang-kencangnya. Tenaga sapi harus kuat, seimbang, dan Joki mampu mengendalikan lari sapi. Sapi pemenang harganya sangat mahal, tahun kemaren mencapai kira-kira Rp. 300.000.000,- dan sekarang bisa mencapai 400.000.000,- an. Perawatan kesehatan sapi karapan ekstra super, minum dicampur telur, susu, dan madu. Biasanya sekali minum bisa mencapai puluhan telor, bahkan mencapai ratusan telor untuk menghadapi even perlombaan. ---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline