Lihat ke Halaman Asli

Republic of Nursing

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13557334041574708936

Dua hari lalu, saya potong rambut di barbershop, tidak jauh dari tempat kediaman di Doha-Qatar. Hanya sekitar 50 meter. Yang saya tahu, semula ada dua orang bersaudara di toko tersebut. Beberapa pekan terakhir ini, yang tua, tidak pernah lagi terlihat. Di tengah perbincangan, saya menanyakan jika hanya satu orang, mestinya kurang. Dijawabnya, aturan yang ada di negeri ini cukup ketat. Untuk nambah lagi, liku-liku birokrasinya panjang. Dia sendiri bukan dalam posisi untuk memilih. Terlebih lagi, disebutkan, bahwa jika misalnya masalah kebersihan atau salah satu kelengkapan yang harus dipenuhi tidak tersedia, barbershop ini bisa didenda. Katakanlah ada minyak rambut, cream, semir rambut atau sejenisnya, saat inspeksi, diketahui ada yang kadaluwarsa, bisa didenda tidak tanggung-tanggung. Jumlahnya mencapai angka Rp 25 juta! Aturan tersebut, saya ketahui bukan hanya di Qatar saja. Juga di negara-negara sekitarnya, misalnya United Arab Emirates dan Kuwait. Aturan yang sama, pula berlaku bagi toko-toko kecil dan warung. Pernah saya temui, sebuah grocery di depan gedung kami tutup. Gara-gara ada produk yang sudah expired namun dipajang di salah satu rak nya. Padahal bisa saja, waktu itu tidak ada unsur kesengajaan, lantaran banyak sekali barang-barang yang dijual. ***** Dalam perjalanan saya ke India beberapa kali, saya perhatikan di negara-negara bagian tertentu, Karnataka dan Kerala misalnya, penjual makanan atau sayuran yang menggunakan gerobak nyaris tidak pernah saya jumpai. Padahal, di Malang-Jatim, asal saya, jumlahnya banyak sekali. Belum lagi di kampung-kampung! Mulai dari pagi hingga malam hari, penjaja makanan sepertinya tidak berhenti, keliling di setiap gang dan kampung, mendorong gerobak beroda dua ini. Saya bertanya kepada seorang teman di India, mengapa orang India tidak melakukan hal serupa, guna meningkatkan taraf ekonomi mereka yang berpenghasilan rendah. Jawabnya, meski India bukan negara kaya, untuk bisa menjual makanan atau sayuran dengan menggunakan kereta dorong maupun gerobak, bukan persoalan yang mudah. Perijinannya rumit. Makanya, orang yang tidak mampu, kalaupun ingin jualan dengan kereta dorong, tidak lantas dengan semaunya bisa lakukan! ***** Tukang potong rambut dan penjual makanan serta sayuran di atas kereta dorong, di India dan Timur Tengah, Singapore, Hongkong, Taiwan, Jepang, hingga Belanda dan Amerika Serikat, sama! Jika mau diakui keberadaanya, harus ikut aturan! Aturan atau kerennya procedure, urusannya tidak simple. Bahkan berbelit. Tetapi bergantung dari sudut mana kita memandangnya. General, teknikal, profesional atau kapital. Sebagian kita mengatakan bahwa mereka bukan tenaga-tenaga profesional. Banyak pula yang mengatakan, semua bentuk bisnis harus disama-ratakan. Di mata pemerintah, mereka diperlakukan sama. Berpendidikan tinggi atau rendah. Mengikuti kursus atau tidak. Kompetensinya dipenuhi atau tidak, yang namanya pemerintah ‘tidak peduli’! Syarat minimal yang ditetapkan, harus dipenuhi. Keberadaan mereka butuh pengakuan formal! Mereka harus menjawab kriteria yang telah menjadi kesepakatan pembuat kebijakan. Mereka tidak bisa melakukan kegiatan bisnis apa saja, yang mereka kehendaki, tanpa mengikuti atauran yang sudah baku. Dalam level manajemen boleh diistilahkan sebagai standard. Bukan sebaliknya, lantaran semata-mata dibutuhkan oleh masyarakat, lantas dengan seenaknya ‘beroperasi’! ****** Sebelum berangkat ke luar negeri, saya sempat berkunjung ke rumah seorang rekan lama, Slamet namanya, di sudut kota Probolinggo-Jawa Timur. Slamet, saya kenal sebagai perawat yang baik. Saat itu, kurang lebih sudah 8 tahun pengalaman kerjanya. Bekerja di sebuah Puskesmas kecil, 8 km luar kota. Slamet beserta keluarga kecilnya, tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Saya amat menyadari, dengan gaji Slamet yang berpangkat Golongan IIB, pasti kurang dari cukup, guna menopang kebhutuhan hidup keluarganya. Jangankan mau beli rumah, untuk bayar cicilan sepeda motor saja tidak gampang ngaturnya. Peralatan rumah tangga yang ada di dalamnya, saya lihat juga seadanya. Kecuali dari gaji, Slamet tidak memiliki bisnis lain, tempat dia bisa bersandar. Praktik mandiri tidak, apalagi membuka bisnis! Dalam hati saya berkata: “Bila kehidupan yang dijalani oleh perawat kita seperti yang ada di hadapan saya ini, betapa mengenaskan kehidupan perawat Indonesia ke depan. Kesejahteraan mereka kurang mendapatkan perhatian!” Begitulah! Lantas, siapa yang mau memperhatikan kesejahteraan perawat? Saya berfikir, kalau tidak Pemerintah…ya….perawat itu sendirilah yang harus memperhatikan! Nurses, tidak mungkin berharap kepada farmasi, laroratorium, dokter atau petugas kesehatan lain, untuk mengurusi segala tetek-bengek kebutuhan hingga kesejahteraan mereka! Itulah salah satu yang mendorong saya, untuk berubah! Tentu saja, saya tidak ingin seperti Slamet, yang kelihatan susah dan menderita. Yang bikin tamu bisa merasa kasihan melihat kondisinya! Dalam kondisi susah, kita tidak mampu membantu diri sendiri. Apalagi harus meringankan beban derita orang lain. Jika harus berbagi rezeki, berat! Sesudah ke luar negeri, saya tidak pernah lagi ketemu Slamet. Bukannya lupa. Saya coba untuk mencari tahu di Puskesmas tempat dia dulu bekerja, namun ternyata tidak ada yang kenal! Mudah-mudahan Slamet jauh berubah kondisinya saat ini! Tidak lagi seperti Slamet yang saya temui lebih dari dua dasawarsa lalu. Sumber: indonesiannursingtrainers dot com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline