Pada akhir Juli kemarin publik dikejutkan dengan berita viral terkait pelayanan BPJS kesehatan yang yaitu pemasangan spanduk di RSUD Senopati wates bantul yang bunyinya BPJS Nunggak 13.4 Milyar demi rakyat kami tetap melayani dengan iklas. Walaupun hanya dipasang sekitar satu jam spanduk ini viral baik dimedia sosial maupun media manstream lainnya.
Pemasangan spanduk terebut merupakan fenomena gunung es akumulasi ketidakberdayaan institusi kesehatan mengatasi likuiditas keuangan. karena melayani peserta BPJS kesehatan karena bagi rumah sakit pemerintah wajib . apakah hal tersebut tidak dialami rumah sakit swasta, situasinya sama baik rumah sakit pemerintah maupun swasta mengalami hal yang sama terkait dengan likuiditas keuangan karena tidak lancarnya proses klaim dengan BPJS kesehatan.
Pada kondisi normal saja rumah sakit harus menyediakan dana talangan operasional diawal untuk dua bulan karena mekanisme pelayanan adalah masyarakat mendapatkan pelayanan di rumah sakit kemudian diawal bulan berikutnya rumah sakit menagihkan pada bpjs kesehatan dan selambat lambatnya 15 hari setelah menagihkan biaya pelayanan tersebut baru di bayarkan. Dan sekarang ini mekanisme pembayaran BPJS kesehatan tidak menentu sedang biaya operasional rumah sakit terus berjalan dan pasti.
Masalah likuiditas pembayaran klaim BPJS kepada rumah rumah sakit ini telah menjadi bara dalam sekam bagi provider kesehatan yang telah bekerjasama melayani peserta BPJS kesehatan karena diera JKN ini hampir semua rumah sakit rata rata melayani 70 persen pasien JKN, bila provider kesehatan tidak melayani pasien JKN maka rumah sakit tersebut akan kehinggan 70 persen pasiennya tentu ini juga akan menjadi masalah lain bagi rumah sakit, karena sekarang pasien yang telah menjadi anggota JKN maka ia akan cenderung berobat ke rumah sakit yang masih bekerjasama dengan JKN.
Tetapi bila masalah likuiditas keuangan ini tidak terselesaikan maka ini juga akan menjadi masalah serius bagi rumah sakit tersebut untuk bisa terus berjalan dalam melayani masyarakat jadi ini hanya seberapa kuat dan tahan masing masing rumah sakit dalam mengatasi liquiditas keuangan tersebut. Kalau rumah sakit pemerintah saja yang beberapa aspek sudah ditanggung negara saja mengalami goncangan apalagi RS swasta
Kenapa masalah tersebut terjadi ini erat kaitannya dengan devisit pembiayaan program jaminan kesehatan nasional sejak pertama di laouncing pada 1 Januari 2014 dimana pada sampai tahun 2017 devisit mencapai 9.75 trilyun dan ditahun 2018 ini diperkirakan akan mengalami devisit sebesar 8.3 trilyun. Ada dua sebab kenapa masalah ini terjadi yaitu masalah sistemik dan kultural :
Masalah sistemik
Masalah sistemik tersebut adalah besaran premi BPJS kesehatan, dimana besaran premi yang telah ditatapkan berdasaar keputusan presiden, melalui perpres no 12 tahun 2013 dimana karena BPJS kesehatan itu merupakan Bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN ) maka besaran penetapan Premi pendekatan yang dilakukan lebih cenderung pada pendekatan politis dan sosial sehingga dibuat semurah mungkin agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat dan mampu memberikan manfaat sebesar mungkin untuk masyarakat . Masalah yang muncul adalah premi yang berhasil dihimpun tidak mampu mencukupi belanja pembiaayaan bagi peserta BPJS kesehatan. Berbeda penetapan premi dengan asuransi jiwa konvensioanal pada umumnya dimana penetapan tarif premi akan dihitung dengan berbagai macam variabel baik itu umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, resiko kerja, termasuk vasilitas perawatan. Sehingga setiap orang berbeda pembayaran preminya, sedang di BPJS kesehatan hanya menghitung satu variabel saja yaitu fasilitas perawatan.
Sedangkan malah kultural yang terjadi adalah besarnya jumlah peserta yang tidak patuh dalam melakukan pembyaran premi tepat waktu. hal ini terjadi tidak hanya peserta mandiri yang secara individu mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, Ketidakpatuhan ini juga terjadi pada perusahaan dan juga pemerintah daerah yang tidak tepat waktu dalam membayarkan premi peserta BPJS kesehatan yang menjadi tanggungannya di tahun 2017 ada 10 juta peserta yang menunggak iuran BPJS kesehatan dengan nilai tungakan sekitar 3.4 trilyun sebgaimana di ungkapkan oleh direktur BPJS kesehatan dr. Fahmi Idris.
Dua masalah tersebut merupakan konsekunsi dari sosial insurance yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN artinya implikasi dari devisit ini menjadi tanggung jawab pemerintah, hanya saja mekanisme penyelesaian devisit inilah yang belum di atur secara detail SJSN ini. di pasal 47 yang berbunyi Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Ini masih sangat umum sehingga tidak bisa secara cepat mampu mnyelesaikan masalah yang terjadi di BPJS kesehatan. Karena disana badan penyelengara jaminan sosial tidak hanya BPJS kesehatan. Di satu sisi dipasal 49 dilarang melakukan subsisi silang antar program dengan membayarkan manfaat satu program dengan program yang lain. Berbagai masalah tersebut menjadikan BPJS kesehatan lamban dalam menyelesaikan kewajiban terhadap provider kesehatan yang bisa berakibat fatal bagi sarana kesehatan yang telah bekerjasama karena bisa berakibat stagnasi bahkan yang terburuk adalah gagal operasional