Alkisah di sebuah negara yang lalim, ada tiga orang yang tiba tiba dimasukan kedalam penjara. Di negara itu, orang orang dengan seenak jidat dimasukan kedalam penjara, walaupun tidak ada bukti sekalipun. Sel nomor 23 baru saja terisi tiga orang sekaligus, si pintar, si pandir dan si batu.
Mereka dipidana tanpa ada proses pengadilan, hal ini lumrah adanya di negara itu. Si pintar yang masih kaget atas putusan hakim, diam di pojok kiri sel, mencoba merenungi apa kesalahannya dan apa yang akan diperbuatnya kelak. Si pandir, seperti julukannya, hanya pasrah menerima dan terus menyalahkan diri sendiri karena ia ditahan, wajahnya juga tidak menunjukan gelagar orang stres dan semacamnya. Si batu adalah yang paling berisik, mukanya memerah, tinjunya seringkali dikirmkan kepada tembok sel yang dingin itu. Ia yakin tidak bersalah.
Diskusi pun terjadi antara mereka bertiga, mereka saling mempertanyakan kenapa mereka bisa ditahan. Dan jawaban dari ketiga orang ini sama: Mereka tidak pernah merasa ada yang salah atau melanggar hukum. "Yasudahlah, kita syukuri saja, kita berdoa aja kepada tuhan agar kita dibebaskan", celetuk si pandir. “Tidak bisa! Pemerintah lalim ini harus diberi pelajaran! Seenaknya saja dia menahan orang seperti ayam! Saya tidak salah! Mari kita lawan! Ayo kita bersiasat” kata si batu. Si pintar hanya tersenyum sinis melihat kedua orang ini terus berkoar. Siasat pun tinggal siasat, tak ada yang namanya kooperatif antara mereka.
Malam hari pun tiba, sudah tiba waktu tidur. Si pandir tidur paling pertama, ia terlihat santai santai saja menghadapi hukuman. Sementara si batu terus merasa kesal, rasanya amarah sudah memakan seisi jantung si batu. Si pintar terus berpikir menganalisis, apa yang harus dia lakukan agar dia bisa keluar dari sel itu secepat mungkin. Malam makin menua, si batu pun akhirnya tertidur karena ototnya sudah lelah mungkin. Si pintar belum juga tidur, dia masih penasaran.
Si pintar kemudian mempunyai siasat, ia memanggil penjaga sel yang sedang jaga malam. "Pak, sini, saya mau ngomong, penting" kata si pintar."Kamu mau ngomong apa? Wong sudah malam ayo tidur, besok kamu kan harus menjalani pemeriksaan lagi" kata penjaga. "Pak, saya punya bisnis dengan bapak. Saya mau kasih info penting. Asal bebaskan saya" ucap si pintar
"Info apa? Lalu, untungnya buat saya apa?" Kata si penjaga. “Bapak bisa naik pangkat pokoknya." Ucap si pintar. "Jangan main main sama saya ya! Ayo kamu mau ngomong apa? " , tanya penjaga sembari mengarahkan pentungan. "Ada yang mau kabur pak!" Kata si pintar. "Siapa?Mana orangnya? Wah lumayan nih menangkap tahanan kabur, membuat saya bisa mendapatkan tunjangan lebih" ucap si penjaga antusias. "Pokoknya tanda tangani dulu, perjanjian hitam diatas putih, jika saya mampu buktikan ucapan saya, saya dibebaskan, lagian saya kan ditahan tanpa alasan." Rayu, si pintar. “Oke! Tapi kalau tuduhan kamu tidak terbukti, kamu akan digantung di lapangan!” Kata si penjaga asertif.
Lalu setelah kesepakatan ditandangani, si pintar meminta kedua temannya dibangunkan dan mereka berdua diperiksa terpisah. Selain itu poin poin pertanyaan dalam pemeriksaan dadakan itu pun dirancang oleh si pintar."Benar si batu merancang siasat untuk kabur? jawab!" tanya sipir. "Ah bapak kata siapa? Saya mah gak tau apa apa pak. hehe. " Ucap si pandir."Kata si pintar! Ayo mana yang benar waktu saya tidak banyak!" Ucap sipir marah. "Wah si pintar ya?Pantas kemarin banyak diam itu orang hehe. Kira kira kalau saya jawab ‘iya’, dapat keringanan hukuman ga pak?" Tanya si pandir. "mm. Bisa jadi iya, ya minimal hukumanmu diringankan lah. Jadi Bagaimana?" Ucap sipir.
Akhirnya pandir menceritakan siasat yang direncanakan oleh si batu untuk kabur, secara blak-blakan dan agak sedikit berlebihan dengan tujuan mencari muka si sipir tadi.
“Kamu mau kabur ya? Lalu kamu rayu dua temanmu ya?” ucap sipir lainnya kepada si batu. "Bapak tau darimana?" tanya si batu. “Jawab saja, jangan banyak tanya!” Bentak sipir. “Bapak tau darimana? Pukul saya, injak saya, atau bunuh saya saja tak apa. saya tak akan jawab kalau anda belum jawab”Geram si batu. "Dari si pintar!" kata sipir. "Bapak mau mengadu domba kami ya? dia pintar, tidak mungkin melakukan hal itu!" marah si batu. "Ini perjanjian yang saya tanda tangani dengan si pintar, saya tidak bohong, temanmu itu licik tapi tak apa itu menolong kami. Lagipula si pandir juga sudah mengakui kalau kamu yang tukang provokasi" ucap sipir sembari menunjukan kertas perjanjian.
Si batu kecewa sangat dalam, tekadnya yang batu semakin mengeras dan akhirnya pecah. "Iya benar saya yang memprovokasi. Pak silahkan gantung saya, saya sudah cukup kecewa dengan keadaan di negeri ini. Apa bapak tidak cape bekerja di negara seperti ini? Menghukum orang seenaknya tanpa alasan? Orang pintar hanya mementingkan diri sendiri? Orang bodoh hanya iya iya saja? Apa bapak tidak mau bahagia?" Curhat si batu. "Saya tidak peduli, yang penting saya hidup cukup dan anak anak saya sekolah, itu sudah syukur" Tutup sipir.
Keesokan harinya, si pintar dibebaskan, si pandir mendapatkan remisi, sementara si batu di hukum gantung di lapangan saat panas terik. Hukuman mati di negeri itu cukup sadis, selain digantung di lapangan, keluarga dari terpidana dipaksa melihat upacara penggantungan itu. "Nak, kalau sudah besar tetaplah teguh pendirianmu. Lawan sistem yang ada, Ayah pergi sebentar ke negeri yang penuh keadilan. Nanti bertemu ayah disana ya"salam perpisahan si batu kepada anaknya.