Lihat ke Halaman Asli

Untuk Steven Gerrard, dari Penggemar Man United

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

asasa

[caption id="" align="aligncenter" width="507" caption="Steven Gerrard (gettyimages)"][/caption] Halo, Saya tahu kemungkinan anda membaca tulisan saya ini adalah satu banding satu juta, sangat tipis sekali. Tapi tak apa, saya memang sudah lama ingin menulis tentang anda tapi masih belum tau ingin menulis tentang apa. Eh supaya enak saya panggil Mas aja, boleh kan? Jadi Mas Gerrard, Hehe. Jumat tadi pagi saya melihat banyak berita hilir mudik yang menyatakan mas gerrard akan meninggalkan liverpool pada akhir musim 2014-2015 dan baru tadi siang saya yakin bahwa berita itu benar ketika melihat pengumuman resmi dari akun twitter resmi LFC. Wah, iki piye toh mas? Kok kesannya mendadak sekali? Ada apa? Pertanyaan pertanyaan itu terus berputar di kepala saya. Spekulasi pun mulai muncul di benak saya tapi yasudahlah, saya tak mau memusingkan itu. Saya pribadi hanya menyayangkan. Secara personal, walaupun saya penggemar rival abadi klub mas gerrard tapi saya bersikukuh kalau mas gerrard ini pantas untuk minimal satu kali mengangkat dan mencium medali premier league di karir mas. Setelah pengabdian dan keloyalan mas gerrard yang mirip dengan mas scholes dan giggsy, seharusnya mas gerrard pernah satu kali mencium medali itu, ya harusnya. Tapi kepantasan ini hanyalah tinggal sebuah kepantasan semu semata, karena sepertinya penyebabnya ada di dalam diri mas gerrard itu sendiri. Lancangkah saya berbicara? Mungkin, tapi kelancangan saya ini didasari oleh sebuah statement dari pelatih kesayangan mas sendiri: Rafael Benitez Benitez pernah bilang seperti ini kepada mas:

"Your problem is you run around too much. You was playing with too much passion" – that is, running around like an idiot and Benítez tried to persuade Gerrard to play more with the head and less with the heart. (sumber: The Guardian)

Buat saya pernyataan itu sudah cukup merangkum kenapa mas belum pernah memenangkan liga. Walau terdengarnya saya sok tahu dan sok mengerti, tapi yang saya tahu liga adalah sebuah marathon bukan sprint. Dan buat saya, mas ini adalah sebuah sprinter yang sangat baik. Pandai membakar energi begitu cepat, baik energi mas sendiri atau teman teman tim mas. Lihat saja bagaimana gigihnya mas ketika di Istanbul kala itu, yang menasbihkan final 2005 itu sebagai final terbaik sepanjang masa. Walau saya tidak sependapat. Hehe Tapi bagaimana tentang konsistensi?bagaimana kalau mas sudah terlalu emosi?sudah tidak bisa menahan gejolak darah yang mengalir keseluruh badan? Lalu akhirnya hilang konsentrasi dan jatuh di tengah jalan. Bukankah itu esensi dari sebuah marathon? Sebuah liga? Contoh riil dari ini adalah ketika tim mas menang 3-2 dari manchester city. Saya ingat betul waktu itu saya ada di kereta menuju stasiun bogor dari pasar senen, sehabis mengantar adik saya pulang ke jogja. Tiap menit saya pantau live tweet dan berharap tim mas kalah walau baterai saya tinggal 11 persen. Saat sampai stasiun tanjung barat, peluit sudah dibunyikan dan liverpool menang lalu menduduki posisi pertama dan tinggal menyisakan tiga match sisa lagi. Sial, mimpi buruk buat saya kala itu. [caption id="" align="aligncenter" width="514" caption="Stevie G and Rafa Benitez (dailymail)"]

Xa

[/caption] Tapi, Ingatkah mas kalau saat itu mas sudah kepalang meluapkan emosi mas? Emosi tak tertahan meluap luap lari kesana-sini dan mengingatkan teman teman lain agar tidak "Slip" saat match sisa? Lalu anda menangis? Lalu semua orang sudah bereuforia layaknya liga sudah usai? Ingat kan, Mas? Tagar #MakeUsDream sudah membahana di mana-mana dan semua elemen liverpool sudah merasa juara pasti akan jatuh ditangan mereka. Manusiawi memang mimpi selama dua dekade lebih sebentar lagi akan menjadi nyata, manusia mana yang bisa berbohong kalau mereka tidak senang? Tapi hanya pemenanglah yang tidak mau merayakan sebelum perayaan itu benar-benar terjadi dan bisa bertindak wajar sebelum semuanya usai. Kejadian setelah itu saya tidak mau tuliskan karena kejadian itu sangat kejam kalau dipikir-pikir. Mimpi itu sirna hanya dalam satu hari, kemarau itu urung dituruni hujan padahal sudah mendung. Oia, saya ingat betul ketika melawan chelsea lagi-lagi saya melihat bukti nyata omongan benitez yang tadi. Mas dengan emosi terus menembakkan tembakan dari luar kotak pinalti demi membayar blunder mas yang memorable itu, andai waktu itu mas tidak emosi dan frustasi saya yakin mas pasti bisa memecah kebuntuan menembus grendel pertahanan chelsea. Suarez, Stturidge, Coutinho, Sterling adalah jaminan mutu daya gedor tim mas. Dan saya yakin, sebenarnya mas ini jenius namun sayangnya emosional. Kiranya surat singkat ini harus segera diakhiri karena saya tahu kapasitas saya hanyalah seorang penggemar dari rival klub mas. Tapi, jujur mas saya tahu betul perasaan fans fans liverpool sekarang. Ditinggal idola yang dari kecil dia lihat sampai sekarang tumbuh besar dan dewasa adalah sesuatu yang bikin getir. Tak peduli bagaimana akhir karir si idola tersebut, saya ingat betul ketika saya bersedih seharian ketika Kakek fergie pensiun atau ketika Moyes (pria tua yang menjadi olokan klub mas) dipecat. Mas gerrard memang pesepakbola sejati yang loyal dan mampu membakar semangat kawan kawan tim, tanpa mas gerrard mungkin tidak ada piala kuping gajah terangkat di Istanbul. Mungkin tanpa mas gerrard pula, persaingan tim mas dengan tim favoritku tidak akan segreget selama ini. Oia mas, aku rindu lihat duet mas dengan xabi alonso. Pindahlah ke bayern mas, sekalian untuk mengangkat piala. Best Regards, Rifki Maulana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline