Lihat ke Halaman Asli

Analisa Editorial

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Analisis isi dari tajuk rencana Kompas, Selasa, 29 Mei 2012 yang berjudul Refleksi Hasil Ujian Nasional dilihat dari kelengkapan SPECS (Situation, Position, Evidence, Conclution, Solution). Tajuk ini masuk kedalam kategori to evalute, karena isinya adalah mengevaluasi hasil dari ujian nasional.

Pada paragraf pertama dijelaskan situation atas permasalahan mengenai kelulusan ujian nasional siswa Indonesia bagian timur yang mengalami peningkatan. Berikut paragrafnya “Kelulusan ujian nasional (UN) jenjang SMA/MA/SMK di Merauke, Papua, mencapai 95 persen. Hanya saja, hal itu dinilai bukan patokan kualistas kelulusan. Hal itu tidak usah dibanggakan, ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Merauke Vincentius Mekiuw di Merauke, Sabtu (26/5).”

Position dalam tajuk ini ditunjukkan dengan judul dan keseluruhan isinya yang menjelaskan tentang evaluasi dari hasil ujian nasional, bahwa siswa lulusan dari Indonesia timur memiliki pesaing ketat dalam memasuki perguruan tinggi terutama bagi mereka siswa dari lulusan Jawa.Sementara untuk evidence-nya, tajuk ini memberikan beberapa bukti tentang alasan mengapa siswa dari Indonesia timur tidak bisa berkancah nasional. Berikut paragrafnya“Menyimak pernyataan di atas menguatkan apa yang selama ini diwacanakan, khususnya saat UN tiba, yaitu adanya kesenjangan taraf pendidikan di tanah air. Di wilayah barat, pendidikan relatif maju. Lulusan UN bisa langsung bersaing secara setara di kancah perguruan tinggi terkenal. Sebaliknya, siswa dari Merauke, jika ingin masuk PTN terkenal, harus martikulasi satu tahun kalau mau setaraf dengan lulusan setingkat dari Jawa.” Lalu pada paragraf selanjutnya “Kini, meski lulus dengan presentase tinggi, dari kawasan Indonesia timur masih timbul kerisauan tentang bagaimana bersaing dengan lulusan asal Jawa. Ini kerisauan yang harus kita pikirkan upaya mengatasinya. Sejumlah putra Indonesia timur, seperti dari Papua atau NTT, berhasil menunjukkan intelegensia tinggi, seperti unggul dalam olimpiade fisika. Tugaskitaberikutnya, bagaimana kita menjadikanitusebagai pola, bukan kasus”.

Conclusion dari editorial ini terlihat pada paragaraf “Indonesia dewasa ini dihadapkan pada isu Hypercomplexity. Hal ini menuntut tersedianya sumber daya insani unggul sebanyak-banyaknya dari berbagai penjuru. Hiperkompleksitas tak jarang menuntut kecakapan matematika untuk meresponsnya. Padahal, menurut berita, banyak ketidaklulusan UN disebabkan nilai matematika hanya dua. Ini tantangan yang perlu kita jawab karena matematika menjadi ilmu pengetahuan dasar bagi pengembangan sains dan teknologi yang dibutuhkan di era modern”.

Terakhir untuk solution ditunjukkan pada paragraf terakhir yang menyatakan tentang harapan agar masalah yang sudah terjadi tidak terulang lagi. Berikut paragrafnya “Mari kita jadikan pasca-UN sebagai momentum berbenah. Sebagai bangsa pembelajar, jangan lagi kita mendengar kabar serupa tahun depan, karena hakikat pembelajaran adalah dicapainya perbaikan, bukan pencapaian yang sama dengan kemarin, apalagi lebih buruk”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline