Lihat ke Halaman Asli

Indira HerawatiKusnadi

Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang

Gratifikasi Meningkat, Indonesia Darurat "Anti Korupsi"

Diperbarui: 21 September 2024   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia kerap kali gencar menyuarakan gerakan anti korupsi kepada masyarakat, namun nyatanya ada yang lebih penting daripada itu. Tindakan gratifikasi di Indonesia sering kali dianggap remeh, padahal hal tersebut yang pada akhirnya menjadi cikal-bakal terbentuknya bibit baru korupsi di Indonesia. Banyak sekali korupsi besar di Indonesia yang bermula dari gratifikasi, melalui uang, barang, maupun suatu fasilitas tertentu. Gratifikasi merupakan permasalahan serius atas krisis penegakan hukum serta regulasi mengenai korupsi di Indonesia.

Dalam kenyataannya, Indonesia yang sedang mengalami darurat Anti-Korupsi ini disandarkan fakta pada integritas pemerintahan negara yang buruk. Pejabat negara kerap kali menerima hadiah, atau suatu fasilitas demi keuntungan pribadi. Kasus gratifikasi para pejabat ini semakin meningkat dan dikhawatirkan menjadi budaya yang menjamur dalam tata kelola pemerintahan.

Meskipun lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki regulasi penegakkan hukum mengenai korupsi, tidak bisa dipungkiri tindakan korupsi semakin meningkat di Indonesia.  Bagai paradoks, semakin ketat penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi, maka terlihat pula peningkatan kasus gratifikasi yang terjadi. Terutama meningkatnya penerimaan gratifikasi oleh pejabat publik dan instansi, yang menyebabkan Indonesia darurat "Anti-Korupsi".

Berdasarkan data statistik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menurut data terbaru 31 Desember 2023, KPK menyebutkan bahwa statistik gratifikasi berdasarkan instansi mencapai angka 3.701. Data ini memperkuat fakta bahwa gagalnya pencegahan korupsi di Indonesia sebagian besar dimulai dari maraknya gratifikasi yang terjadi. Dalam pembenahannya, Indonesia belum mencapai akar dari korupsi, yaitu gratifikasi. Banyak pejabat yang menganggap remeh gratifikasi dengan mengatakannya sebagai hadiah semata, atau pemberian fasilitas secara cuma-cuma. Namun, perbuatan tersebut nyatanya melanggar hukum dan pada akhirnya membuka jalan masuknya korupsi.

Bagai kritikan tajam bagi pemerintahan, Indonesia berhadapan dengan tantangan yang besar dalam memberantas gratifikasi. Meskipun telah ada lembaga seperti KPK dalam mencegah korupsi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pengawasan yang kurang memadai berdampak pada gratifikasi yang terus menggerus martabat pemerintahan.

Dalam kasus terbaru gratifikasi yang ada di Indonesia, mengutip dari laman resmi KPK dalam siaran pers pada tanggal 04 Juli 2024 mengenai jual beli jabatan di lingkungan Provinsi Maluku Utara.

"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan IJ selaku Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Maluku Utara sebagai Tersangka atas dugaan pemberiaan gratifikasi terkait jual beli jabatan di lingkungan Provinsi Maluku Utara kepada AGK, yang merupakan mantan Gubernur Maluku Utara tahun 2019 -- 2024."

Serta adanya penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga KPK terhadap dugaan gratifikasi terbaru yang dilakukan oleh Kaesang Pangarep sebagai anak dari penyelenggara negara, dalam penggunaan suatu fasilitas yang disebutkan yaitu jet pribadi.

Gratifikasi tidak semata-mata masalah hukum, namun persoalan etika yang perlu dibenahi dalam setiap lapisan internal pemerintahan. Dampak gratifikasi juga tidak hanya dalam lingkup nasional saja, namun berdampak besar di dunia global. Posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi global juga berpotensi mengubah iklim investasi serta hubungan Internasional negara Indonesia dengan berbagai negara di dunia.

Maka dari itu diperlukan solusi dari permasalahan tersebut seperti memperkuat regulasi dalam undang-undang mengenai gratifikasi, memperjelas batasan gratifikasi, serta melakukan pengawasan ketat terutama dalam tata kelola pemerintahan untuk menciptakan lingkungan yang sinergis dan terintegritas. Selain itu pendidikan publik dengan melibatkan komponen penting yaitu masyarakat dalam pengawasan juga diperlukan. 

Untuk itu, apabila dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, tindakan gratifikasi sebagai akar dari korupsi dapat berkurang, serta sistem pemerintahan kembali mendapatkan kredibilitas yang baik di mata masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline