Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Hidup dalam Perjalanan Tauhid

Diperbarui: 30 Oktober 2018   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Setiap manusia lahir dan tumbuh dengan kertas soal masing-masing. Semua punya ujiannya, dan kurikulum khusus, personalized, dari Allah swt. Semua kertas soal harus diselesaikan seumur hidup, dengan tujuan satu: mendekat kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa. Kurikulum kita disusun khusus untuk mengajarkan bahwa siapa yang faham tauhid, akan menjadi manusia yang tenang, punya panduan hidup, tahu apa yang bisa menyelamatkannya di dunia akhirat.

Aku lahir dengan kertas soalku juga. Akupun punya kurikulumku sendiri. Ujian besar pertama dalam hidupku Allah berikan saat aku ada di perantauan, jauh dari orang tua dan teman. Badai hidup terjadi memukul sangat keras, dan tak ada orang-orang yang sebelumnya selalu menjadi penaung dan pelindung. Siapa lagi yang bisa kita minta menjadi penaung dan pelindung selain Allah Sang Maha Esa? Inilah pelajaran tauhid pertamaku.

Dalam badai di tanah rantau aku benar-benar berlari kepadaNya. Bukan merangkak, bukan berjalan. Aku berlari kencang, ketakutan, dengan badan hancur lebur. Menangis, tersungkur, sampai akhirnya Allah kirim seorang nenek buta untuk berpesan, "Ujianmu adalah kesempatan bagimu. Aku akan bantu dari jalan yang tak kau sangka-sangka. Ayo bangkit! Kau kuciptakan unik, dengan ujian yang hanya Kuberikan padamu."

PesanNya membuatku bangkit, mendapatkan sekolah saat pendaftaran sudah ditutup dan beasiswa saat dana yang ada sudah dialokasikan kepada orang lain. Ajaib, mujizat? Bagi Allah semua itu semudah membalik telapak tangan.

Ini momentumku merapat padaNya. Mulai pakai jilbab untuk fokus belajar menjadi hamba kecintaanNya, meskipun dengan angin di sana, jilbabku lebih banyak diterbangkan angin daripada melekat pada rambutku hehe. Masih belajar, dan terus belajar. Mulai pula dengan segala ibadah sunnah yang luar biasa, tak terbayang sebelum aku merantau. Semua untuk "merapat" pada hanya satu Tuhan Yang Maha Esa, dan tak lagi minta ke yang lain... nggak ada lagi juga. Orang tua pun jauh. Mau ke mana? Memang hanya ke Allah. Hanya Allah yang ada.

Alhamdulillah hidup menjadi sangat mudah setelahnya. Allah buka semua nikmat dunia bagiku. Apapun yang aku minta dikabulkan. Dan benar kalau dibilang manusia yang kenal tauhid jadi tenang. Aku menjadi manusia yang jauh lebih tenang setelah ujian tadi berlalu. Jauh lebih "terpandu" dalam jalanNya. Dan luar biasa hadiahNya bagiku.

Sayangnya, aku menjadi sering lupa memberi "kredit" padaNya dalam kelapangan. Aku merasa semua adalah "hasil kerja kerasku" yang sesungguhnya tak ada apa-apanya dan tak mungkin terjadi tanpa izinNya.

Maka Allah beri ujian kedua: kanker payudara. Yang ini ternyata benar-benar ujian yang kusambut dengan happy. Aku sangat gembira mendapatkan ujian yang satu ini. UI itu prestis, tapi sekolah kanker lebih prestis lagi. Tak banyak yang bisa lolos masuk ke dalamnya. Aku makin merapat padaNya. Aku sadar dosa-dosaku sedang dicuci, bahagia rasanya. Sampai pernah ada yang mendoakan kesembuhanku, dan aku bilang, aku takut sembuh, dan jadi jauh dariNya. Aku ingin selalu dekat denganNya dan ujian ini efektif mengingatkanku padaNya.

Saat itu kemegahan dunia terus diberikan, dengan beban kerja yang jauh lebih ringan. Nikmat sekali. Sayangnya aku belum sadar akan dosaku untuk ingat bahwa ini semua adalah hadiahNya, bukan berkat kerja kerasku. Harga diriku masih menjadi tuhan kecil bagiku. Kerjaanku pun masih sering membuatku tak memprioritaskanNya. Inilah noda tauhid yang kulakukan saat itu, tuhan-tuhan yang mengganggu hubunganku dengan Penciptaku yang harusnya setiap detik menjadi priortasku. Ternyata ini ujian yang tak kusadari. Ini ujian yang lebih sulit. Dan aku belum lulus.

Terakhir, dikirimkan ujian terakhir untuk mengangkat noda itu. Berbagai hal terjadi untuk meruntuhkan harga diriku dan kerjaanku. Allah kirim orang untuk mengecilkanku, menghinaku, dan akhirnya melepas segala atribut yang pernah diberikanNya padaku. Aku berhenti bekerja, dan otomatis tak lagi punya penghasilan aktif, jabatan, power, reputasi, posisi, dan semua yang terkait dengannya. Sesungguhnya semua sudah aku rencanakan, dan tak serta merta diambil mendadak olehNya. Aku yang memang minta diambil. Tapi saat semua diambil, aku sempat gamang juga. Dan terakhir Allah ambil nikmat kekuatan fisik. Ini yang selama ini aku jadikan tuhan, yang kufikir membuatku mampu "bekerja keras" mengejar berbagai kemegahan dunia. Kali ini semua Allah ambil.

Ujian terakhir ini benar-benar signifikan. Gamang, sampai suamiku berkata, "Kamu kayak nggak punya Allah saja."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline