Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Sepasang Mualaf di Padang Arafah

Diperbarui: 3 September 2017   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MirajUmrah.com

Seringkali Muslim yang lahir sebagai Muslim menjadi Muslim yang menggampangkan segala sesuatu. Dan para Mualaf lebih mampu menghargai kemusliman mereka. Karena waktu belum tentu menunggu dan ajal tak akan pernah mundur.

Seringkali kita harus lebih banyak belajar pada mereka yang tak mengenal Muslim sejak lahir.

Ada sepasang suami istri keturunan Tionghoa di Padang Arafah. Sang suami, dalam balutan ihram putihnya, tak pernah berhenti berzikir, dan air mata terus mengalir di pipinya. Sang istri mendampingi dengan terus komat kamit tanda berdoa dan berdzikir, sambil mengenakan kaca mata hitam penahan terik matahari.

Arafah memang terik luar biasa. AC dan kipas angin tak banyak membantu membuat suasana tenda menjadi dingin. Jemaah haji bergantian tidur, ibadah, dzikir dan berdoa. Tapi pasangan suami istri tadi tak henti-henti berdoa dan berdzikir. Saat yang lain sudah terlelap dalam mimpi mereka terus duduk khidmat. 

Maka para jemaah lain pun kagum dan takjub akan kerajinan suami istri ini. Selesai wuquf Arafah para jemaah lain pun penasaran dan ingin mengenal lebih dekat pasangan ini. Dan sang suami pun bercerita mengenai pengalamannya dengan Islam.

Rupanya kakaknya yang lebih dulu masuk Islam, diam-diam. Ia tak ingin keluarganya tahu. Saat kakaknya berpulang ke Rahmatullah, tetangganya ngotot membawanya ke masjid untuk dishalatkan. 

"Saat jenazah kakak saya sudah diletakkan di depan imam, saya pun bertanya, apakah Non Muslim boleh masuk masjid. Mereka bialng, 'boleh.' Lalu saya buka sandal untuk masuk masjid perlahan-lahan. Tiba-tiba badan saya bergetar. Itulah pengalaman pertama saya masuk masjid. Saya seperti merasa ada tenaga besar masuk dalam tubuh saya. 

Setelah pengalaman hebat itu, di malam hari saya bermimpi memotong dua ekor kambing dan dilihatnya anak laki-laki saya berlari-lari gembira menyaksikan kambing dipotong. Hah, bagaimana mungkin? Bukankah anak saya lumpuh? Mimpi ini saya simpan dari istri yang beragama Katolik, tapi saya ceritakan kepada tetangga yang Muslim. Dari tetangga pula saya jadi tahu, itulah aqiqah dalam Islam. Karena itu tak segan-segan saya memotong dua ekor kambing. Ajaib. Di hari ketika ia memotong kambing itu anak saya benar-benar berlari bukan lagi dalam mimpi!

Dengan takut-takut, saya pun menyampaikan niat pada istri untuk bisa masuk Islam. Ternyata, tak diduga-duga, istri saya menangis tersedu-sedu. Ternyata ia pun sudah ingin masuk Islam tapi takut menyatakan pada saya."

"Waktu saya masih beragama Katolik saya juga sudah sering tahajud," tambah istrinya di sisinya.

"Wah, tahajud?" tanya jemaah di sekitarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline