Lihat ke Halaman Asli

Mencari Surga yang Dirindukan 3 - Sakit Itu untuk Disyukuri dan Dinikmati, Bukan untuk Dikeluhkan

Diperbarui: 5 Februari 2017   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tamanlavender.wordpress.com

Oleh: Lillik Andini, Lavender Ribbon Cancer Support Group, dalam rangka #WorldCancerDay dan Ulang Tahun Kedua Lavender Ribbon Cancer Support Group

Sakit itu untuk disyukuri

Selama 4 tahun yang diwarnai dengan harap dan cemas itulah aku mendapatkan banyak pengajaran. Salah satunya adalah belajar menikmati. Menikmati segala rasa sakit yang bertubi-tubi di tubuh ini. Menikmati ketidakberdayaan jasad hingga harus bergantung kepada orang lain. Menikmati segala bentuk pemberianNya. Tentu saja ini bukanlah hal yang mudah. Aku belajar bahwa ketika mengeluh, rasa sakit malahan menjadi berkali-kali lipat rasanya, walaupun mengeluh itu hanya sekedar bersuara pelan menahan sakit. Saat kita mengeluh, pikiran kita hanya fokus ke sakitnya, bukan ke proses penyembuhannya.

Tapi ketika aku terima rasa sakit itu, aku berusaha menikmatinya, maka rasa sakitnya akan jauh berkurang. Ternyata jika rasa sakit itu kita terima dengan diam dan ikhlas, maka rasa sakitnya akan berkurang, dan proses penyembuhannya pun terjadi. Yang kulakukan saat rasa sakit yang amat sangat itu datang adalah terus meyebut Allah di lisan dan hati saya. Benar-benar hanya dengan itu sakitnya bisa reda.  Saat itu aku sudah minum obat penahan sakit level tinggi (morphin), tapi morphin tidak membantu menghilangkan sakit, malah tubuh nggak karuan rasanya. Menyebut nama Allah lebih ampuh ternyata.

Ibarat berenang melawan arus yang kuat, maka kita akan babak belur dibuatnya. Alih-alih melawan, dengan menerima dan menikmati maka kita akan mengalir bersama ketetapanNya. Kesimpulannya, sakit bukan untuk dilawan atau untuk dikeluhkan, tapi untuk diterima, disyukuri dan dinikmati.

Doaku tak pernah putus asa agar Allah senantiasa membimbing dan mengajariku. Dan sungguh aku merasakan bimbingan dan pengajaranNya dalam setiap proses perjuanganku, yang  membuatku takjub luar biasa. Allah memang Maha Kasih dan Sayang. Allah tak akan pernah meninggalkan hambaNya yang meminta pertolongan padaNya.

Bukan satu dua kali aku merasa takut dan lemah harapan. Sering terbersit apakah aku sangggup menjalani kurikulum ini. Hingga aku menguatkan diri dengan berpikir bahwa aku hanya akan memiliki dua pilihan pada akhirnya, yaitu sembuh dan sehat atau mati saat berjuang melawannya. Tak ada yang lain. Ajal telah ditetapkan di Lauh Mahfudz. Tak akan dimajukan pun dimundurkan meski sesaat. Ketetapan Allah sudah pasti. Kematian kita pun sudah pasti. Kita bisa mati kapan pun, tak harus lewat penyakit bernama kanker ini. Yang bisa kita ikhtiarkan adalah kualitas menjalani kehidupan kita masing-masing. Bagaimana agar dalam hidup kita selalu menghadapkan wajah kita kepada Allah, bukan pada dunia.

Kanker: cara bersegera mendekat menuju Allah

Lalu aku membayangkan saat dulu jasad ini masih sehat, apakah aku sudah menjalani kehidupan aku sesuai dengan harapanNya? Mungkin belum. Mungkin Allah menginginkan aku mendekat padaNya lewat kanker. Aku dan tentunya kita semua menginginkan kematian yang husnul khotimah. Memenuhi panggilanNya saat hati kita sedang menghadap padaNya. Bagiku pada saat itu, akan lebih mudah mempersiapkan diri untuk mati karena kanker  ketimbang mempersiapkan diri untuk sembuh dari kanker. Aku tak ingin badan yang sehat justru membuatku lalai dari Allah. Seringkali kesehatan, kemapanan dan kesenangan duniawi membuat kita lupa mempersiapkan bekal untuk mati.

Bersahabat dengan kanker membuatku hanya ingin meninggal dengan selamat. Pikiran dan hati yang selamat. Yang menerima bulat segala ketetapanNya, agar kemudian aku bisa melanjutkan perjalanan ke alam berikutnya dengan bekal yang cukup. Jadi jika ada yang bertanya kepadaku, apa yang kamu dapatkan dari kanker? Maka aku akan menjawab, kanker memberi aku pelajaran besar tentang penerimaan, sabar menjalani ketetapannya dan bersyukur atasnya, serta ikhlas menjalani takdirNya.

Apakah ada saat di mana aku mengeluh? Pasti. Tapi aku tak mau hanyut dalam keluhan, kesedihan, dan keputusasaan. Bersegeralah menguatkan kembali genggaman tangan kita denganNya. Mintalah padaNya kekuatan, menjeritlah hanya padaNya, jika tak sanggup menahan derita maka mengeluhlah hanya padaNya, bukan kepada makhlukNya. Sehingga dalam kondisi apa pun kita senantiasa terhubung dengan Allah, selalu mengingatNya, berdzikir dalam naik-turunnya kehidupan dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline