Namanya Abdul Sattar Edhi, lahir di Gujarat, India. Ibunya mendidiknya untuk selalu berbagi sejak ia kecil. Ia selalu mendapat 2 paisa dari ibunya, 1 paisa untuk beli makan, 1 paisa untuk orang lain. Kebiasaan sejak kecil ini rupanya sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya yang selalu ingin berbagi.
Di usia 11 tahun ibunya stroke dan lumpuh. Edhi harus melayani ibunya selama 9 tahun, sampai ibunya meninggal dunia. Di usia 20 tahun ia pindah ke Pakistan, saat negara Pakistan didirikan. Ia mendarat di pelabuhan Karachi yang bau dan tinggal di daerah miskin di Karachi.
Pengalamannya mengurus ibunya membuatnya faham apa yang dibutuhkan orang yang sakit dan tak berdaya. Edhi tak begitu menikmati pekerjaannya sebagai pedagang kaki lima pinggir jalan. Hati-hatinya terus menjerit melihat banyaknya orang miskin di sekitarnya. Ia banyak melihat ketidakadilan. Perampokan dan suap adalah hal sehari-hari yang ingin diberantasnya. Maka didirikannya sebuah toko obat sederhana di mana ia bisa banyak membantu orang-orang miskin.
Saat epidemi flu berjangkit di Karachi, ia mendirikan tenda untuk merawat orang-orang miskin dan hanya meminta bayaran dari orang yang mampu. Ia banyak melihat orang bergeletakan di jalan, maka dibuatnya tempat di mana mereka dapat berbaring. Dimintanya mahasiswa-mahasiswa kedokteran secara sukarela merawat mereka.
Edhi tak punya uang untuk bisa membantu orang-orang miskin ini. Maka ia mengemis untuk bisa membeli tenda. Alhamdulillah banyak juga orang yang bersedekah sehingga ia bisa mendirikan klinik kecil berukuran 8x8. Seorang donatur memberinya sebuah ambulance. Dikemudikannya ambulance pertamanya untuk membantu sebanyak-banyaknya orang miskin.
Di kliniknya ia bertemu dengan Bilquis yang dinikahinya dan memberikannya empat orang anak. istrinya kemudian memimpin klinik bersalin gratis yang banyak membantu bayi-bayi tak diinginkan dan dibuang. Sebuah rumah tidur bayi diletakkan di luar kliniknya agar ibu-ibu yang tak menginginkan bayinya dapat meletakkan bayi. Edy dan istrinya pun menjadi orang tua dari ribuan anak.
Edhi dan Bilquis bekerja bersama di tahun 1965 saat Pakistan dan India berperang dan Karachi dibom. Mereka melayani banyak korban dan mengurus banyak jenazah. Istrinya mengurus jenazah perempuan dan Edhy mengurus jenazah laki-laki. Yayasan yang didirikannya mengurus pemakaman bagi semua orang yang meninggal secara gratis.
Yayasan Edhi tumbuh menjadi yayasan jutaan dolar. Saat ini yayasan ini adalah yayasan terbesar di Pakistan, melayani 20.000 bayi terbuang, 50.000 anak yatim piatu, melatih 40.000 perawat, mendirikan 330 klinik lengkap dengan dapur umum, panti ibu dan anak terlantar, klinik anak-anak berkebutuhan khusus, klinik kejiwaan dan rehab narkoba. Yayasan Edhi mengoperasikan jaringan ambulance terbesar di dunia dengan 1.500 ambulance, bekerja 24 jam setiap hari.
Edhi tak pernah menolak siapapun yang membutuhkan bantuannya. Saat ada yang bertanya, kenapa ia juga melayani mereka yang tak seagama dengannya, Edhi menjawab, "Ambulance saya lebih Muslim daripada kamu." Edhi sangat kesal melihat orang yang tak mau memegang jenazah.
Yayasannya juga melebarkan jaringan di Afrika, Timur Tengah, Kaukasus, Eropa Timur dan Amerika, termasuk saat Badai Katrina melanda Amerika. Edhi disebut juga sebagai Bunda Teresi versi Pakistan.
Menjelang ajalnya di usia 90 Edhi meminta semua organ tubuhnya didonasikan. Karena ia sakit, hanya kornea matanya yang bisa didonasikan. Meskipun bisa dianggap jutawan, ia hanya memiliki 2 pasang pakaian dan tak pernah mau mengambil gajinya.