Pilkada serentak telah selesai dilaksanakan diberbagai tempat di Indonesia, sejumlah pasangan calon (paslon) kepala daerah banyak ditemukan melawan kotak kosong pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 kemarin. Ada paslon yang menang dan ada pula yang kalah.
Fenomena kotak kosong dalam pilkada di Indonesia merupakan suatu kondisi dimana hanya ada satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah atau pemilu lainnya. Kondisi ini membuat pilihan untuk memilih antara paslon tersebut atau memilih opsi kotak kosong.
Pada pilkada kali ini tercatat ada 37 paslon tunggal yang akan menghadapi kotak kosong. Ada beberapa alasan mengapa hanya ada satu paslon dalam suatu pilkada, beberapa alasan diantaranya karena dominasi politik partai-partai politik besar mendominasi pencalonan, sehingga tidak ada kandidat alternatif yang mampu bersaing, Koalisi Besar dimana banyak partai politik yang berkoalisi mendukung satu kandidat, sehingga sulit bagi kandidat lain untuk maju, Kurangnya Minat atau Faktor personal dan finansial bisa menjadi penghambat bagi calon lain untuk maju.
Dituliskan dalam buku How Democracies Die karya Stevan Levitsky dan Daniel Zibblat (2019) mereka menyebutkan bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta yang sering tidak disadari ketika terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi, termasuk juga dengan mendominasi pencalonan dalam pemilihan. Salah satu hal yang membuat demokrasi mati perlahan-lahan adalah munculnya fenomena kotak kosong dalam pilkada.
Banyak yang belum menyadari bahwa fenomena kotak kosong ini dapat dilihat dari dua sisi:
Pertama: trend kotak kosong akan berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia, karena adanya kotak kosong memperlihatkan minimnya kompetisi maupun transparansi dalam pelaksanaan pilkada, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan ideal untuk dijadikan pemimpin daerah, fenomena ini juga menunjukkan kegagalan demokrasi yang seharusnya dapat menghadirkan pilihan beragam bagi masyarakat.
Kedua: kotak kosong mencerminkan dinamika yang kompleks, partai-partai besar bersatu menjadi satu koalisi yang mengakibatkan hanya tersisa sedikit ruang bagi calon lain untuk maju, dalam arti lain bahwa parpol besar menguasai politik lokal.
Trend kotak kosong ini tentunya berdampak pada perkembangan sistem demokrasi Indonesia seperti menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih. Masyarakat akan merasa malas untuk menggunakan hak pilihnya dikarenakan terbatasnya calon pilihan yang ada. Selain itu fenomena kotak kosong ini akan memperkuat oligarki partai politik dan kaderisasi partai politik juga menunjukkan tidak berjalan dengan maksimal, karena partai politik lebih melihat calon yang tingkat popularitasnya tinggi serta memiliki modal sosial, politik dan ekonomi yang tinggi dalam mengikuti kontestasi dalam pilkada.
Hal ini tentunya sangat disayangkan bagi kesehatan dan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H