[caption id="attachment_300754" align="aligncenter" width="300" caption="Direct Selling PKS"][/caption]
Dapat apa sih dari mengikuti kegiatan partai?. Kepanasan, kehujanan, pulang hingga larut malam masa sih gak dapat apa-apa!. Itulah kalimat yang sering kita dapati manakala berdiskusi dengan teman, sahabat, orang-orang yang kita temui atas kegiatan kepartaian yang dilakukan.
Sebuah keberuntungan bagi penulis, karena sejak masih kanak-kanak sudah disuguhi kerja-kerja sosial dan kemasyarakatan dari orangtua, serta kegiatan-kegiatan keagamaan dari kakak dan abang yang sering berkumpul di rumah untuk sekedar berdiskusi atau sekedar singgah kerumah sebelum dan setelah kegiatan yang tampaknya rutin dilakukan. Mulai dari mengurusi kegiatan Posyandu yang rutin dilakukan sebulan sekali, mencari donatur untuk pembangunan Taman Kanak-Kanak diatas sepetak tanah sisa milik orangtua yang kemudian menjadi hak milik dari Aisyiyah (lembaganya Muhammadiyah), membentuk TPA (taman pendidikan Al-Qur'an), dll.
Sempat terbersit sebuah tanya dibenak penulis "apakah mungkin orang rela bekerja secara sukarela tanpa dibayar sepeserpun", waktu banyak tersita bahkan mungkin uang dari kantong sendiri ikut menomboki kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Tetapi itulah realita yang terjadi dan akhirnya membentuk persepsi bahwa orang dapat melakukan kerja-kerja sosial dengan ikhlas tanpa iming-iming akan dapat materi setelah melakukannya .
Persepsi yang muncul dimasyarakat seperti yang tertuang dalam paragraf pertama tulisan ini jelas bukan tanpa bukti, hal tersebut menjadi pertanyaan yang sangat wajar karena memang selama beberapa dekade ada ketidakberdayaan secara politik di negeri ini yang berujung kepada ketidak berdayaan secara sosial, sehingga hampir tidak ada gerakan politik yang berbasis kepada gerakan sosial akar rumput. Semua kegiatan kepartaian serba elitis, beda warna tapi satu suara sehingga memunculkan istilah "korupsi dibawah meja". Serba uang dan jabatan sehingga muncul persepsi tersebut, hingga tuduhan "bohong kalau tidak ada duitnya!"
Fenomena Blusukan dan Direct Selling PKS
[caption id="attachment_300758" align="aligncenter" width="300" caption="Direct Selling PKS"]
[/caption]
Istilah "blusukan" sepertinya baru terpopulerkan setelah Jokowi ikut pertarungan politik di DKI. Bahkan hingga tadi pagi, penulis sempat melihat berita dari sebuah stasiun tv swasta menegaskan tentang hal tersebut. Dengan kalimat yang cukup tendensius mengatakan sang pembawa berita "fenomena blusukan yang dilakukan oleh Jokowi yang tadinya sempat di cibir, kini di contoh oleh lawan politiknya".
Penulis ingin bercerita tentang sebuah kegiatan kepartaian yang pernah di ikuti. Awalnya ada sebuah ajakan dari teman-teman yang pernah satu sekolahan untuk berkumpul di suatu tempat. Di sebuah rumah yang ternyata dekat dengan gedung sekolah tempat penulis menimba ilmu. Di daerah yang masih begitu banyak tanah persawahan, di sebuah kabupaten yang dulu masih bernama Lampung Selatan dan kini berganti menjadi Kabupaten Tanggamus. Disanalah pertama kali penulis mengikuti kegiatan kepartaian dan mengenal istilah "amunisi" untuk setiap bahan yang akan diberikan kepada orang-orang yang akan ditemui, serta istilah "direct selling" atas seluruh rangkaian kegiatan tersebut.
Sebelum kegiatan berlangsung ada briefing atas kegiatan yang akan dilaksanakan. Karena pada tahun tersebut adalah kali pertama PKS mengikuti pemilu, maka amunisi yang dibawa adalah kliping koran atas kiprah PKS masuk ke gelanggang politik serta stiker lambang dan nama partai. Setelah briefing, kegiatan untuk sosialisasi partai pun dimulai. Tempat yang kami tuju adalah sebuah daerah yang bernama Tanjung Rusia. Satu persatu rumah kami singgahi, memperkenalkan diri, memperkenalkan partai layaknya sales yang sedang menjajakan barang dagangannya, meminta ijin empunya rumah agar kami bisa menempelkan stiker di kaca jendela atau pintu rumahnya, serta memberikan kliping koran yang kami bawa. Usai kegiatan door to door tersebut, kami berkumpul kembali dan menceritakan hal-hal apa saja yang terjadi selama kegiatan tersebut berlangsung sebagai bahan evaluasi untuk kegiatan selanjutnya.
Di tahun 2004, kembali kegiatan direct selling partai penulis ikuti dan saat itu sedang di amanahi sebagai sekretaris partai tingkat kelurahan di Bandar Lampung. Kali ini kegiatan tersebut sudah berlabel "wajib" di ikuti bila tidak ada uzur yang diperbolehkan. Polanya beragam, pertama kegiatan yang terkoordinir di ranting(DPRA) yang di ikuti oleh kader yang berdomisili di ranting tersebut, kedua kegiatan direct selling partai yang terkoordinir di tingkat DPC yang dipusatkan di sebuah kelurahan secara bergiliran setiap minggunya, ketiga kegiatan direct selling partai yang terkoordinir di tingkat DPD yang dipusatkan disebuah kecamatan, keempat kegiatan direct selling pribadi yang bisa dilakukan dimana saja sesuai domisili dan kegiatan sang kader.