Perjalanan ku kali ini ke gunung anak Krakatau cukup mendebarkan karena cuaca seringkali tidak dapat diduga. Namun setelah pemandu meyakinkan cuaca dan gelombang laut cukup mendukung akhirnya aku menginjakkan kaki di pulau yang namanya cukup mendunia ini. Kapal yang kunaiki memerlukan perjalanan selama 3 (tiga) jam dari sebuah resort di Kalianda menuju gunung anak Krakatau. Kecepatan kapal yang hanya 7 (tujuh) knot cukup asyik untuk dinikmati.
Dari GPS yang berada di ruang kemudi kapal terlihat kedalaman laut yang mencapai 36 meter, suhu air, jarak antar pulau dan waktu tempuh, di layar monitornya juga terlihat gambar ikan kecil maupun besar yang berseliweran di dasar laut. Apabila dibayangkan, permukaan laut yang dilewati kapal ini merupakan kaldera (kawah besar) akibat letusan besar Gunung Krakatau tahun 1883. Letusan besar ini menghancurkan sekitar 60 % tubuh Krakatau dibagian tengahnya sehingga terbentuk lubang kaldera dengan diameter kira-kira 7 (tujuh) kilometer. Sungguh mengerikan!
Gunung anak Krakatau panas dan gersang untuk dinaiki, itulah kesan yang terasa saat kapal yang kunaiki mendekati gunung anak Krakatau dan mengantarkan ku berlabuh di bibir pantai timur anak Krakatau karena belum adanya dermaga untuk bersandar bagi kapal wisata. Kawasan pantai timur terlihat lebih rindang karena terdapat pepohonan yang tumbuh di sekitarnya, berbanding terbalik dengan kawasan punggung gunung sebelah barat yang sangat panas, kering, suhu tinggi dan tanpa air.
Gunung anak Krakatau merupakan gunung aktif yang lahir dari letusan gunung Krakatau yang mengguncang dunia tahun 1883. Saat itu letusan atau daya ledaknya 30 ribu kali lebih dahsyat dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang terjadi saat perang dunia II. Anak Krakatau ini muncul pertama kali dari permukaan laut tahun 1929, konon dari hasil penelitian tinggi anak krakatau bertambah 4 (empat) meter setiap tahun, jadi kalau dihitung hingga saat ini anak Krakatau telah berusia lebih dari 80 tahun dengan tinggi mencapai 230 meter.
Sesaat setelah kapal yang kutumpangi berlabuh, ku coba mengelilingi sekitar pantai. Di kawasan hutan ini terdapat aneka jenis tanaman dan hewan melata seperti biawak (?). Ketika memegang pasir di lereng gunung terasa pasirnya sangat tajam dan panas, khas pasir gunung berapi. Daya tarik bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke kawasan anak Krakatau dan pulau sekitarnya yaitu dapat mendaki lerengnya dan melihat letusan-letusan kecil dari dekat terutama malam hari karena lava pijarnya sangat mempesona.
Perjalanan dari tepi pantai menuju punggung gunung memerlukan waktu 40-50 menit karena aku harus beberapa kali berhenti untuk istirahat dan mengamati pemandangan “padang pasir” yang terik dengan tumbuhan disekitarnya yang tampak kering. Di areal perbukitan pasir terdapat alat pemantau gunung api berbentuk seperti antena. Dari ketinggian terdapat bekas longsoran tanah dan bebatuan dari puncak anak Krakatau. Setelah berada di ‘puncak’ punggung gunung dan lokasi yang cukup tinggi, terlihat pemandangan laut yang indah seperti pulau rakata, pulau sertung dan pulau panjang yang merupakan tepi kawah akibat letusan Krakatau purba masa lalu.
Saat senja merona ketika kembali ke penginapan terlihat matahari terbenam yang cukup indah, sekali-sekali terlihat lumba-lumba berlompatan di atas lautan biru. Gunung anak Krakatau memang panas dan gersang namun kawasan ini memiliki pesona ekowisata yang cukup menantang dan dapat menjadi obyek penelitian mengenai fenomena alam yang sungguh luar biasa. Letusan gunung berapi bukan sekedar bencana alam namun mempunyai hikmah yang dapat menjadi anugerah apabila kita dapat mengelolanya. Anak Krakatau merupakan situs warisan dunia. Itulah karunia Tuhan.
Sekilas catatan ringan. Salam wiken.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H