Senin, (14/11/16) Djuwariyah Darmosumarno atau Yu Djum yang dikenal sebagai ikon gudeg Yogyakarta dan telah merintis gudeg sejak tahun 1950-an tutup usia di umur 85 tahun. Saat masa berkabung sebagai tanda berduka cita warung Gudeg Yu Djum “Pusat” yang tersebar di Yogyakarta tutup seluruhnya. Warung baru buka setelah libur 4 (empat) hari, yaitu buka kembali Jumat 18/11/2016.
Rabu sore (16/11) saat mendarat di bandara Adi Sucipto Yogyakarta, ku niatkan mencari gudeg untuk mengisi perut yang tertunda akibat pesawat delay yang cukup lama. Sebenarnya di pesawat diberi snack box, namun karena menunya itu-itu saja dan rasanya cukup membosankan, maka kotak makanan yang disodori oleh pramugari cantik Beby tak kusentuh sedikitpun.
Sopir yang menjemputku langsung mengantar menuju ke Jalan Wijilan dekat alun-alun timur yang cukup populer dengan kuliner gudegnya. Salah satu warung gudeg Yu Djum yang ada di sini ternyata telah buka.
Buat sobat Kompasianer yang mau ke Jalan Wijilan rutenya cukup mudah, dari arah Keraton dapat berjalan kaki ataupun naik becak. Kalau mau naik becak sebaiknya ditawar dulu tarif becaknya, jangan asal naik saja dan menyalahkan tukang becaknya ketika dimintai harga yang tidak sesuai.
Aku biasa menawar menggunakan bahasa jawa jadi dikasih harga murah, karena jarak dekat tarifnya cuma sepuluhribu rupiah tapi sewaktu turun dari becak ku kasih duit duapuluhribuan, hitung-hitung sebagai amal dari rezeki yang kita peroleh untuk pengemudi becak yang kehidupan ekonominya pas-pasan dari hidup mengayuh becak.
Eh ngomong-ngomong soal becak, tempo hari di Kompasiana ada yang menulis kekecewaannya tentang tukang becak di Yogyakarta yang minta harga “tak wajar”, katanya tarif becak dari tempat parkir bus di seberang taman pintar ke malioboro lima puluh ribu rupiah. Menurutku itu salah pembimbingnya yang membawa rombongan, mengapa anak didiknya dilepas begitu saja tanpa ada pengawasan, ketika wisata “salah” naik becak, tukang becaknya yang disalahkan.
Dari abang becak yang pernah ku ajak ngobrol, bercerita bahwa kalau ada tukang becak meminta uang limapuluhribu rupiah untuk jarak dekat ke Malioboro memang gak wajar, tetapi memang ada sih tukang becak yang minta harga tinggi karena yang datang ‘kan turis yang mau wisata, keliling-keliling bersenang-senang dan umumnya membawa bekal uang untuk rekreasi dan belanja oleh-oleh.
Kalau ada tukang becak yang minta uang Rp 50.000 dengan jarak sedekat itu coba deh diklarifikasi dan apa betul tukang becak ngomong “ini Malioboro yang baru”, jangan-jangan ini cuma masalah miss komunikasi antara tukang becak, anak didiknya dan laporan anak didik ke pembimbingnya. Jangan pukul rata menyalahkan ‘wong cilik’, masih banyak kok tukang becak yang baik dan jujur di Yogyakarta!
Buat sobat yang senang jalan-jalan ke suatu daerah tujuan wisata jangan segan-segan untuk menawar harga. Jangan lupa juga untuk belanja khas daerah tersebut, karena ini dapat menjadi kenangan indah bagi kita jika suatu saat bercerita kepada teman atau kerabat bahwa kita pernah datang ke Yogya dan membeli bakpia, kaos, batik atau apalah yang dibeli.
Jangan terlalu pelit membelanjakan uang, bukankah kita berdarmawisata sudah merencanakan dan menyediakan dana yang cukup. Jadi selain menikmati perjalanan wisata kita juga menikmati histori dan memorinya sekaligus “berderma” sambil wisata.
Jika berwisata ke suatu tempat jangan hanya bercerita tentang buruk dan jeleknya saja, tulis juga kisah indahnya, padahal sehabis bercerita keburukan suatu daerah, siapa sangka tahun depannya ternyata kita datang lagi berkunjung ketempat yang sama, bahkan naik becak lagi untuk tujuan yang sama sambil bergaya narsis dan berswafoto di atas becak yang dikayuh si abang becak yang peluh keringatnya kita peras.
Kembali ke gudeg! Saat perut terasa lapar karena makanan dipesawat tak ku sentuh sedikitpun, akhirnya ku datangi warung gudeg Yu Djum di Jalan Wijilan yang bentuk bangunannya sangat sederhana. Sambil duduk lesehan kusantap hidangan nasi gudeg yang rasanya khas tersebut.