Annida-Online—Boleh percaya boleh tidak, perjalanan magis—bahkan cenderung mistis—Putra Gara, telah mengantarkannya pada sebuah novel sejarah bertajuk Samudera Pasai yang baru saja diluncurkan di Jakarta, Jumat (22/1) lalu. Dalam diskusi buku tersebut, Gara bahkan mengaku bahwa ia sendiri merasa tidak pernah secara sadar menulis Samudera Pasai.
“Saya merasa ketika menulisnya saya hanya menggambarkan apa yang saya lihat dan saya alami ketika diajak mengembara ke alam mana, saya sendiri tidak tahu, bersama prajurit Kerajaan Pasai,” ungkap pria kelahiran Taeungon, Aceh, 2 Februari.
Awalnya, Gara sendiri aneh dengan apa yang dialaminya. Pada pertengahan April 2009 lalu, Gara memang sengaja datang ke Aceh, khususnya ke Lhoksemawe dan sekitarnya untuk menyusuri jejak kerajaan yang pernah berjaya di abad ke-13 M tersebut dalam rangka melengkapi data penulisan novel ini. Tapi siapa sangka, dalam proses pencarian tersebut, tepatnya ketika ia telah berziarah ke tiga makam tokoh yang paling berperan dalam kejayaan Samudera Pasai; Raja Malikusshaleh, Malikuddhahir, dan Sultanah Nahrisyah, Gara justru “diajak” menyaksikan langsung kejayaan tersebut dalam sebuah perjalanan gaib.
“Setelah pulang dari makam Sultanah Nahrisyah, dalam keadaan sadar dan tidak, saya seperti didatangi oleh tiga orang yang tidak saya kenal. Mereka ingin saya ikut serta kembali ke makam puteri Nahrisyah. Saya menolak ketika itu. Sekuat tenaga meronta, sampai terdengar suara gaduh dari kamar saya. Beberapa orang ketika itu, termasuk Bang Win (pemandu Gara dalam perjalanan ke Aceh tersebut), langsung mendatangi kamar penginapan saya; menyadarkan saya,” kenang Gara.
Setelah kejadian itu, malam itu juga Bang Win mengajaknya kembali ke makam sang Puteri. Ketika sampai di makam Ratu Nahrisyah lagi, Gara melakukan shalat dan berdoa memohon petunjuk. Di sinilah perjalanan spiritualnya dimulai. Selama dua jam tampak berdiam diri dalam doa, sesungguhnya Gara sedang mengalami kejadian luar biasa ajaib, berada di tengah-tengah kota paling strategis demi menyaksikan sendiri kejayaan Samudera Pasai.
“Menurut pengakuan Bang Win dan penjaga makam, saya seperti terpekur dalam doa selama dua jam. Namun, saya ingat betul ketika itu saya mengalami hidup selama puluhan tahun, tiga generasi dan ikut melihat bagaimana megahnya kerajaan ini, begitu makmurnya kehidupan rakyatnya, juga beberapa intrik dan perseteruan di dalam keluarga kerajaan. Saya melihat langsung dan saya berada di sana,” tegas Gara sambil menangis.
Gara mengakui, dirinya memang kerap menangis ketika mengenang dan menceritakan kembali perjalanan gaibnya tersebut. Ada kekaguman, rasa kangen, dan takjub yang tak bisa lenyap begitu saja saat melihat langsung kedigdayaan satu-satunya kerajaan Islam yang tak bisa tunduk pada Majapahit itu.
“Bisa dibilang ini nggak masuk akal, saya seakan menulis Samudera Pasai berbekal referensi gaib, fakta sejarah yang belum terungkap sebelumnya. Bahkan ada beberapa hal yang belum ditemukan sebelumnya, tapi saya sudah menuliskannya. Ini sungguhan,” imbuh Gara, masih emosional.
Gara yakin, tak semua orang yang mampu menerima pengalaman serta proses kreatif penulisan novel Samudera Pasai ini sebagai sesuatu yang logis. Ia pun tak ingin memaksakan kehendak bahwa semua akan percaya tentang perjalanan gaibnya tersebut. Diakuinya, sebagian orang bahkan telah menganggap dirinya sebagai pembual.
Yang terpenting baginya, novel Samudera Pasai ini bisa bermanfaat bagi penanda sejarah Samudera Pasai itu sendiri sekaligus penanda kerinduannya akan tanah kelahirannya di Aceh Utara. Karena buku ini adalah sebuah novel dengan stempel fiksi sejarah di sampulnya, kira-kira bagaimana ya komposisi kandungan antara fakta sejarah dan imajinasi sang penulis dalam buku ini? Hm, saat hal ini Annida tanyakan, Gara yang tengah menuliskan lanjutan dari Samudera Pasai yang rencananya memang akan hadir dalam sebuah trilogi, hanya menyerahkannya pada pembaca.
“Terserah pembaca saja bagaimana menilainya. Tugas saya menggambarkan apa yang saya alami telah selesai,” pungkasnya. [nyimas]