Lihat ke Halaman Asli

Tabu: Bagaimana Melindungi Anak Tanpa Memberi Tahu?

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Irwanto

Penerjemahan dan penerbitan buku Why Puberty menuang reaksi keras dari berbagai kalangan. Buku yang dimaksudkan sebagai informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas dianggap sebagai sumber malapetaka bagi anak-anak dan remaja karena salah satu informasinya adalah mengenai konstruksi jender ketiga dan hubungan mendalam antar sesama jenis. Ini dapat dimaklumi, karena komentator dan medianya lebih tertarik pada unsur sensasi dan keuntungan yang melekat pada segala sesuatu yang sensasional. Reaksi yang reflektif dan rasional yang dilandaskan pada bukti-bukti empirik yang ada mungkin bukan berita.

Komentar yang menabukan isi buku tersebut juga berasal dari kalangan profesional. Sayang mereka juga tidak menggunakan ilmunya tetapi menggunakan pandangan umum dan dalil ketabuan untuk melindungi dirinya karena ditanya. Mereka tidak sempat berpikir apakah jawabannya merugikan anak dan remaja (yang menjadi obyek dari buku tersebut) atau memang menguntungkan/melindungi mereka.

Kasus seperti ini mengingatkan kita untuk kesekian kalinya betapa sulitnya anak-anak kita mengenali realitas hidup sehari-hari. Ada semacam tirai moralitas semu yang menggelumuti sistem pengasuhan yang berlaku. Banyak orangtua lupa bahwa kita tidak dapat menjaga anak kita 24 jam sehari dan anak kita akan hidup di masa depan dan harus mengambil keputusan sendiri tanpa bantuan orangtua.

Melindungi tanpa memberitahu?

Secara teknis, mohon pertanyaan ini dijawab dengan rasional. Mampukan kita melindungi anak kita dari berbagai mudarat di dunia ini tanpa memberitahu apa yang kita anggap sebagai buruk untuk mereka?

Penelitian di ranah kesehatan reproduksi (kespro) telah memperoleh banyak bukti bahwa informasi yang faktual, disajikan dan didiskusikan sesuai dengan usia anak mampu membantu anak mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan di masa remaja, aborsi, dan PMS. Tetapi pengetahuan tentang kespro saja tidak cukup. Anak-anak kita juga membutuhkan dialog yang terbuka, faktual, dan suportif tentang seksualitas – termasuk orientasi seksual. Tetapi di sinilah kita mampet. Walau BKKBN dan sektor kesehatan mendukung program kespro bagi remaja Aku Bangga Aku Tahu – tetapi tokoh masyarakat dan oportunis sensasi masih gerah dan oversensitif dengan informasi seputar seksualitas.

Tabu dan diskriminasi

Tabu meliputi berbagai persoalan yang tidak layak dibahas secara terbuka di masyarakat. Karena tidak dibahas secara terbuka, maka hal-hal yang ditabukan diselimuti misteri. Hal-hal yang misterius mengundang rasa takut dan reaksi punitif (penghukuman) jika dilanggar.  Jika yang misterius itu melekat pada manusia, seperti orientasi seksual dan perbuatan lain yang diharamkan (narkoba), maka manusianya distigma dan didiskriminasi. Hak-hak mereka dipasung dan ciptaan YME ini dianggap setengah manusia. Akibatnya, jika persoalan mereka merambah ke populasi umum, merekalah yang disalahkan dan solusi yang rasional tidak pernah ditemukan.

Informasi terbuka – menciptakan dialog

Moralitas semu berkedok tabu telah lama membuat anak-anak kita bingung dengan dirinya sendiri karena yang dianggap tabu dikaburkan dalam pengasuhan. Penis disebut “burung”, demikian juga organ lain diberi nama-nama yang tidak selaras dengan ilmu pengetahuan. Ketika ia mempelajari biologi, maka dia harus melakukan proses re-learning yang buang-buang waktu dan energi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline