Lihat ke Halaman Asli

Mengidamkan Negara Maju tapi Pendidikan Terbelenggu

Diperbarui: 3 Maret 2019   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.bprnbp2.com/

Pendidikan merupakan hak dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Dengan pendidikan yang baik maka akan menghasilkan output yang juga berpengaruh kepada masa depan suatu negara. Karena jika generasi penerus suatu negara tidak mendapatkan pendidikan yang terjamin tentu kelangsungan hidup negara akan terpuruk.

Salah satu problem yang dihadapi masyarakat saat ini adalah tingginya biaya pendidikan, terutama jika sudah pada jenjang perguruan tinggi. Yang tak siap modal akan tergerus oleh keadaan. Jika dibilang adanya beasiswa untuk memberi kesematan kepada yang kurang mampu nyatanya masih banyak rakyat miskin yang pupus harapannya lantaran beasiswa yang terbatas dan untuk jalur mandiri tak pernah terjangkau oleh mereka.

Mahalnya biaya pendidikan saat ini seperti yang dirasakan oleh salah satu mahasiswa di universitas di Yogyakarta yang harus banting tulang untuk mendapatkan hidup hingga ia mendapatkan beasiswa. Asa Reza adalah seorang mahasiswa yang akhirnya mendapatkan beasiswa untuk mengenyam pendidikan tinggi di salah satu universitas di Yogyakarta dan akhirnya memberanikan diri untuk menggugat UU Perdagangan yang menempatkan pendidikan sebagai jasa yang bisa diperdagangkan bersama dengan bisnis biasanya.

Inilah jawaban mengapa pendidikan yang selama ini didamba-dambakan oleh setiap orang menjadi jasa yang bisa dikomersialisasi dan hanya dapat dirasakan sebagian orang saja. Bagaimana tidak, perguruan tinggi yang pembiayaannya harusnya diberikan oleh pemerintah justru ditetapkan untuk mencari sumber pendapatan sendiri untuk menjalankan aktivitas kependidikan.

Kebijakan ini berawal dari kesepakatan yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara lain dalam hal perdagangan bebas dan sekaligus memasukkan pendidikan sebagai jasa yang diperjual belikan. Walhasil pemerintah menetapkan UU no. 12 tentang Perguruan Tinggi dimana pemerintah memberikan wewenang bagi Perguruan Tinggi untuk membuat kebijakan terkait pembiayaan pendidikan. Sehingga keluarlah istilah UKT (Uang Kuliah Tunggal) sebagai pengganti SPP yang setiap kampus akan mematok dengan biaya yang berbeda-beda dan dengan nominal berkali-kali lipat dari SPP.

Selain itu banyak kampus yang akhirnya berlomba-lomba untuk mengomersialisasikan fasilitas-fasilitas kampus dimana orang yang ingin menikmati fasilitas kampus harus membayar sejumlah biaya yang sudah ditentukan. Selain fasilitas, kampus juga berlomba membuka peluang pendapatan baru, seperti pembangunan mall, supermarket, wirausaha dan lain-lain.

Inilah gambaran pendidikan saat ini yang justru digunakan sebagai sarana mendapatkan keuntungan bukan sebagai sarana pencetak generasi ataupun bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyatnya.

Tidak heran jika negara mengidam-idamkan untuk menjadi negara maju ataupun menjadi negara superpower akan tetapi tidak pernah berhasil. Karena faktanya negara tidak serius untuk memberikan masyarakatnya kemudahan untuk mewujudkan generasi pembentuk peradaban yang mulia. Negara menunjukkan lepas tangannya dalam memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Negara terbelenggu dengan kesepakatan perdagangan bebas yang malah menjerumuskan kepada kehancuran negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline