Lihat ke Halaman Asli

Kurikulum Darurat Pendidikan Formal Dapat Meminimalkan Praktik Eksploitasi dan Doktrin Ideologi Kelompok Dominan dalam Ruang Belajar

Diperbarui: 1 Juli 2021   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Getty Images/Igor Alecsander

 

Seperti yang kita ketahui, bahwasannya sudah lebih dari satu tahun Indonesia dilanda oleh sebuah wabah mematikan, yaitu virus corona. Wabah ini kemudian ditetapkan sebagai sebuah pandemi oleh World Health Organization (WHO) sejak Maret 2020 tahun lalu, tepatnya pandemi Covid-19. Namun, hingga saat ini kondisinya belum juga membaik. Protokol kesehatan harus tetap dipatuhi oleh seluruh warga negara dalam menjalani rutinitas sehari-hari sebagai upaya menghentikan penyebaran virus corona.

Pandemi Covid-19 memberikan banyak dampak serius terhadap jalannya kehidupan bermasyarakat. Dampak tersebut dirasakan oleh sektor-sektor tertentu, seperti sektor pertanian, sektor kesehatan, sektor ekonomi, dan terkhusus sektor pendidikan. Sejak pandemi Covid-19 kegiatan yang melibatkan publik dibatasi. Salah satunya adalah pendidikan yang kemudian dilaksanakan dengan metode pembelajaran secara daring.

Praktik Sekolah Formal di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 menyebabkan praktik pembelajaran tidak lagi di sekolah, namun beralih menggunakan model pembelajaran E-Learning. E-Learning ini merupakan suatu konsep pendidikan dengan memanfaatkan sistem elektronik. E-Learning dilaksanakan secara daring sebagai upaya memaksimalkan pembelajaran meskipun terbatas ruang dan waktu. Perubahan sistem belajar mengajar tersebut juga mempengaruhi kurikulum pendidikan yang dengan terpaksa disederhanakan untuk menyesuaikan situasi dan kondisi dalam masa pandemi Covid-19 ini. Kurikulum yang disederhanakan ini diharapkan  dapat mempermudah pembelajaran di masa pandemi Covid-19.

Kurikulum adalah semua rancangan pendidikan siswa, dan pengalaman siswa belajar yang diperoleh oleh siswa berkat arahan dan bimbingan dari sekolah. Sedangkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, bab 1 pasal 1 ayat 19 kurikulum didefinisikan “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Secara sederhana kurikulum dapat diartikan sebagai landasan dan acuan dalam pendidikan untuk menjelaskan bagaimana praktik pendidikan itu sendiri.

Saat ini pendidikan nasional Indonesia menggunakan kurikulum 2013 atau biasa disebut K-13 yang telah direvisi. K-13 revisi ini menekankan pada kemampuan siswa, meliputi mengingat, menerapkan, menganalisis, dan menciptakan. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan produk pendidikan yang kreatif, inovatif, afektif melalui pengamatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Namun, seperti yang telah disebutkan karena dampak pandemi Covid-19 kurikulum pendidikan mengalami penyederhanaan, yaitu terdapat pada bagian Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar merupakan kompetensi yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa guna memenuhi kompetensi yang telah ditetapkan. Setiap jenjang sekolah memiliki KD yang berbeda beda, begitupun dengan penyederhanaanya. Kurikulum yang disederhanakan ini disebut sebagai kurikulum darurat. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno, pada kurikulum darurat kompetensi dasar dikurangi sebanyak tiga persen hingga 75% pada setiap mata pelajaran.

Praktik Kurikulum Sebagai Arena Eksploitasi

Seorang tokoh pendidikan Louis Althusser menjelaskan posisi sekolah menggunakan karakteristik apparatus, yaitu petama repressive state apparatus (RSA) seperti polisi, pemerintah, birokrasi, penjara, pengadilan atau militer. Kedua adalah ideological state apparatus (ISA). ISA tersebut, meliputi gereja, politik, komunikasi, kebudayaan, hukum, keluarga, media masa, sekolah, dan kurikulum. Praktik keberlangsungan ISA ini dilakukan melalui ideologisasi, berbeda dengan RSA yang lebih mengutamakan fisik serta kontrol sosial. Althusser mengatakan praktik ISA berlangsung secara halus bahkan tanpa disadari. Peristiwa ini berlangsung seperti sesuatu yang natural.

Contohnya terjadi dalam pendidikan jenjang formal, Althusser menjelaskan seperti yang termuat dalam kurikulum bahwa siswa diwajibkan hadir di sekolah selama 8 jam sehari selama 5 hari dalam seminggu. Menurutnya fenomena tersebut sangat rentan akan mengalami proses ideologisasi yang mana berbasiskan pada ideologi dominan untuk memenuhi peran dalam masyarakat kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline