JAKARTA-Independent, Banyaknya persoalan politik yang terjadi di Aceh tidak terlepas dari pengaruh Wali Nanggroe. Akan tetapi dalam kenyataannya Wali Nanggroe berpihak pada salah satu Parlok Aceh sebagai Tuha Peut. Hal ini sangat disesalkan banyak pihak.
Wali Nanggroe harus netral dari setiap Parlok Aceh yang ada. Tidak boleh memberikan dukungan bagi salah satu parlok Aceh tetapi merangkul semua pihak.
Front Gerakan Marwah Atjeh (F-GMA) dalam diskusi di salah satu hotel di Banda Aceh, 14 Desember 2017, maka didapat beberapa kesimpulan penting.
Untuk itulah para kuli tinta diundang oleh Front Gerakan Marwah Atjeh (F-GMA) terkait Konfrensi Pres di Haba Cafe Kawasan Lampriet Banda Aceh, Senin 22 Januari 2018.
Ada hal menarik tentang Wali Nanggroe karena dirasakan sudah tidak layak. Fungsi kewenangan Wali Nanggroe harus diserahkan kepada para Ulama Aceh.
Hasil diskusi itu antara lain: Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar tidak bisa menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik untuk mengangkat harkat, martabat dan marwah bangsa Aceh.
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf untuk segera melakukan evaluasi dan merevisi Qanun Wali Nanggroe tentang tata cara pemilihan Wali Nanggroe.
Front Gerakan Marwah Atjeh (F-GMA) Teungku Sufaini Usman Syekhy menilai bahwa Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe yang sekarang berkuasa di Aceh adalah Palsu karena secara garis keturunan pun tidak ada hubungan dengan Sultan Aceh.
Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe tidak sah, tidak bisa menjadi panutan untuk menjadi wali bagi rakyat Aceh. Kesimpulannya Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe sangat tidak layak menjadi Wali Nanggroe yang ke-9.
Demi mendukung pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara kaffah maka Gubernur Aceh Irwandi Yusuf harus segera mengambil alih dan menyerahkan wewenang Wali Nanggroe kepada Ulama Aceh dan segera bekerja merevisi Qanun Wali Nanggroe.
Serta mengajak seluruh rakyat Aceh agar tidak terjadi perpecahan pasca pelantikan Gubernur Aceh yang baru demi tercapainya program Aceh hebat dalam lima tahun kedepan.