Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan sebuah provinsi yang memikat di Indonesia, menghadapi keindahan alam dan kebudayaan yang beragam, ada masalah kesehatan yang menjadi tantangan utama di NTT yaitu masalah Stunting dan Kemiskinan ekstrem..
Berdasarkan data dari Studi Survei Gizi Indonesia (SSGI), tercatat prevelensi angka stunting di NTT pada tahun 2021 sebesar 37,8% , angka tersebut membuat NTT menjadi Provinsi dengan Stunting tertingi Pertama di Indonesia. Pada tahun 2022 data terbaru yang di keluarkan pada bulan Juni lalu, Prevelensi stunting masih sangat tinggi yakni 22% pada February 2022.
Menurut World Health Organization (WHO), Stunting (kerdil) merupakan salah satu kondisi dimana tinggi badan seorang bayi berusia di bawah lima tahun (balita) jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan bayi seusianya.
Ada banyak factor yang memicu tinggi angka stunting di NTT. Masalah Keterbatasan akses layanan kesehatan dan informasi edukasi tentang stunting yang kurang bagi para ibu dan calon ibu menjadi factor utama tingginya angka stunting di NTT. Keterbatasan ekonomi para keluarga sehingga menyebabkan ibu dan anak-anak tidak bisa mendapatkan asupan gizi yang cukup, ditambah lagi kesulitan akses layanan kesehatan sehingga ibu dan anak-anak sulit untuk melakukan pemerikasaan kondisi kesehatan mereka.
Tidak hanya keterbatasan akses layanan kesehatan, kekurangan asupan gizi, minimnya edukasi tentang stunting, factor sanitasi di NTT juga membuat tingginya angka stunting. Terdapat di daerah pedalaman masih banyak masyarakat yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai, kesulitan air bersih sehingga banyak dari mereka mengonsumsi air yang tercemar.
Berdasarkan data BKKBN angka stunting di NTT pada tahun 2023 menurun 2,3% dibandingkan tahun 2022, jumlah balita yang mengalami stunting sebanyak 63,804 jiwa.
Menurut Kepala BKKBN NTT Elsa Pongtularan, mengatakan bahwa angka stunting di NTT menurut tetapi, angka penurunan tersebut belum sesuai dengan target Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT yaitu 10-12%. Saat ini angka stunting di NTT mencapai 15,2%.
Menurut Elsa, pencegahan stunting di NTT perlu dilakukan secara ketat melalui program pembangunan keluarga hingga keluarga berencana, Ia juga menjelaskan bahwa Seorang ibu harus terhindar dari 4 hal yaitu, terlalu muda hamil dan melahirkan, terlalu tua hamil dan melahirkan, terlalu dekat jarak kehamilan, dan terlalu sering hamil dan melahirkan.
Untuk memperkuat penurunan angka stunting, pihak BKKBN mendorong kerja kolaboratif aktif bersama pemerintah daerah, seluruh stecholder terkait, dan masyrakat agar upaya penurunan stunting bisa menurun.
Berdasarkan hasil rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi DPR RI Emanuel Melkaides Laka Lena pada Senin, (5/12/2022) yang menerima audiensi Tim Moringa Provinsi Nusa Tenggara Timur dan membahas mengenai upaya pemerinta Provinsi NTT dalam menurunkan angka stunting melalui pemanfaatan produk olahan tumbuhan Kelor atau marungge.
Tim Moringa mengusulkan agar olahan tumbuhan kelor/marungge di NTT dapat dimasukkan dalam permenkes untuk menjadi salah satu unsur tambahan olahan pangan pada menu PTM baik bagi balita maupun ibu hamil. Dengan pemanfaatan olahan kelor bisa menjadi alternatife solusi dalam penanganan stunting, dan pemberian serbuk marungge juga mampu meningkatkan berat badan dan status gizi balita. Olahan bubuk marungge juga dapat memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi masyarakat yang ada di NTT.