Lihat ke Halaman Asli

Niat Baik Saja Tak Cukup

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Detak jantung terasa berpacu. Seluruh badan gemetar menahan amarah yang hendak tumpah. Andai batitaku tak mengais perhatian dari emaknya yang memelototi status di jejaring sosial, mungkin makian yang akan keluar. Ya, niat baik saja tak cukup untuk kondisi seperti ini. Harusnya prasangka ditepiskan dari pihak kedua—yang nyaris mustahil diwujudkan tatkala kabut emosi tengah menggeluti. Dan aku sebagai pihak pertama, pemberi masukan, harusnya tak mengulurkan sudut pandang baru melalui tulisan melulu. Dia perlu direngkuh pundaknya. Dia perlu dibasuh air matanya. Dia perlu dielus hatinya dengan kata-kata yang meluncur dari bibir, bukan berbentuk times new roman 12pt.

Mendapati curhat seorang sahabat yang kerepotan dengan ulah anak-anaknya, aku mencoba memberi perspektif baru. Kutawarkan pula diksi yang lebih halus baginya alih-alih ‘diperintah oleh bos-bos kecil’. Anak-anak, balita, tak pernah—sampai kapanpun—memerintah orang tuanya. Mereka juga bukan bos. Mereka adalah amanah, anugrah. Meski kadang jadi cobaan juga, seperti yang tengah berlaku pada sahabatku itu. Sayang, niat baikku ditangkapnya salah.  Bahkan doa yang kupanjatkan untukku, untuknya, dianggap main-main dan menyindir. Ya Rabb... Seketika aku tersulut. Ada beberapa bayangan reaksi yang bisa kuambil saat itu.

1. Menuruti detak jantung dan badan gemetarku tadi, aku hanya ingin bilang, “JAN**K!” Tak cukup di tulisan, bahkan kalau perlu menelpon dan bicara langsung—meski itu berarti aku harus mencari tahu dulu nomor hapenya. 13 tahunku tinggal di Surabaya ternyata masih menyisakan ruang untuk pisuhan sedemikian.

2. Membalas komentarnya dengan komentar lagi pembelaan diri serta menyerang dia. Sekalian aja membara eh berkobar apinya. Emang siapa dia, dikasih tahu baik-baik kok malah nyolot. Nggak ngomentari kasusnya juga nggak bakal pateken, kudisan. Semua kulakukan demi yang namanya pertemanan. Komentar dan dukunganku yang berwarna beda dengan teman lainnya didorong oleh rasa kasihan pada anak-anaknya. Mereka belum tahu dosa, Jeung!

3. Langkah ketiga yang lebih elegan: diam. Dengan alasan:

a.       Niat baik, jika diterima nggak baik, mending diam saja. Toh hanya Dia yang paling tahu desir hati kita, bukan dia.

b.      Memahami dia sedang dan masih emosi. Orang emosi, nggak bakal bisa bening dia punya nurani. Lebih baik beri dia waktu lebih untuk mencerna, memandang dengan berjarak sehingga bisa lebih obyektif nanti.

c.       Aku sendiri lagi emosi. Itu tidak baik bagi kejiwaanku. Ngapain suasana hati harus dipengaruhi oleh orang lain? Yang jika dituruti bisa mempengaruhi anak-anak dan keluargaku juga? Rugi lah yaw!

Kasus nyaris sama pernah terjadi bertahun-tahun lalu. Seseorang yang meminta pendapat, masukan, justru menyerang balik, menuduhku yang enggak-enggak ketika jawaban kuberikan. Aku muak, marah, kesal, benci, dan entah apa lagi. Bedanya, waktu itu aku tak sesabar sekarang. Ciee... jadi langkah nomor 2 yang kuambil.

Berkaca pada dua kasus nyaris sama di atas, aku merasa dikayakan oleh sifat-sifat dan karakter manusia. Salah satunya, mereka yang suka mengasihani diri, mereka yang suka mengeluh, mereka yang butuh selalu dorongan, mereka yang mestinya bisa berjiwa besar tapi logika dan pengetahuannya dikalahkan oleh emosi, dan masih banyak lagi.

Ada peran pola asuh keluarga dan lingkungan dalam pembentukan karakter setiap manusia. Ada pula tekanan, dan kondisi sekarang yang membuat mereka memilih satu jalan dibanding jalan lainnya. Kita, aku, yang jelas berbeda latar belakang serta daya tahan, ya coba saja pahami sebagai keberagaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline