Lihat ke Halaman Asli

Hati-hati Berdonasi, Iba Juga Harus Pilih-pilih

Diperbarui: 15 Juni 2016   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak awal Ramadhan hingga hari ini, rasanya pembahasan tentang ibu penjual nasi yang terkena razia satpol PP Kota Serang menjadi viral setelah videonya beredar. Tapi kali ini saya tidak akan berbicara banyak tentang ibu-ibu itu, dari awal saya sendiri agak ragu untuk berkomentar banyak, takut salah dan lain-lain.

Karena kejadian ini, tiba tiba muncul program donasi untuk ibu tersebut yang telah terkumpul hingga 265 juta. Bahkan konon katanya ibu tersebut sudah menerima sumbangan sebesar 10 juta dari Pak Presiden. Bagi saya yang sudah puas nikmatin hidup bareng orang susah dan sama-sama susah nggak terlalu tertarik dengan donasi ini. Mengapa?

Kira-kira masih ada yang ingat dengan Darsem? TKI asal Subang yang pernah terancam hukuman di Arab Saudi. Untuk mengingatkan silahkan baca link ini.

Setelah lolos dari hukuman pancung, bahkan secara mendadak Darsem jadi orang kaya karena donasi dari penduduk Indonesia. Sedihnya, uangnya tersebut dibuat foya-foya men. Kalau mau puas silahkan lanjut baca artikel ini: 1, 2 dan artikel-artikel lain yang bisa di googling.

Saya ingatin satu lagi, Si kakek “Winnie The Pooh” yang sempat menjadi viral dan orang-orang pada iba. Padahal men, doi punya 7 istri. 

dan juga pengemis-pengemis lain di Jakarta yang punya rumah mewah istri lebih dari satu di kampungnya.

Belum puas disitu, ini ada pengalaman pribadi saya tentang kondisi masyarakat kecil dan miski di Indonesia saat ini. Saya pernah mengajar di sebuah pedalaman di Indonesia melalui sebuah program di Kabupaten Lebak selama satu tahun (saya juga sempat mendirikan peternakan bersama warga disana selama beberapa tahun). Cita-cita saya waktu itu ingin membantu masyarakat miskin di pelosok negeri (maklum baru lulus kuliah, jadi idealis :D). Nah, setelah berbulan bulan saya disana, saya mulai mengenal banyak hal yang unik, walau menurut saya lebih ke arah aneh mengenai prilaku masyarakat tersebut. Namun saya tegaskan bahwa tidak semua masyarakatnya demikian, yang baik juga banyak (istilahnya baik buruk selalu ada dimana-mana).

Selama di Lebak, saya mulai merasa bahwa tidak seharunya kita merasa sangat kasihan kepada orang miskin. Selama hidup di kota kira selalu dibuat iba oleh foto-foto yang tersebar di media massa dan social media. Satu hal yang perlu di ingat bahwa setiap manusia memiliki sifat serakah, tamak dll, dan hanya keimanan yang mampu meredam hal tersebut.

Saya pernah diskusi dengan seorang warga di kampung saya mengajar. Kira-kira begini isinya. Saya bertanya mengapa program pemerintah tentang donasi hewan ternak di sini tidak pernah sukses, dan bahkan di daerah-daerah lain. Jawab petani tersebut dengan polos dan bercerita “Dulu pernah ada pak, Program 250 ekor domba, yang ketua programya dapat 50 ekor domba, yang lain paling dapat 5 ekor. Setelah dapat, dombanya dijual semua untuk beli rumah, beli motor, dll.” Ngekkkk… nyesek rasanya. Kalau tidak percaya silahkan googling aja, apakah ada program peternakan berbasis masyarakat yang sukses di Indonesia? Kalau iya itu cuma cassingnya di website. Kalau ada menurut saya cuma di daerah Sumba, itupun budaya turun-temurun.

Saya sendiri pernah marah besar kepada murid murid saya di kelas 6. Saya bilang di depan kelas “Kalau suatu hari kalian tetap miskin seperti orang tua kalian, jangan salahkan Negara, tapi salahkan kalian sendiri. Kalian sekolah sudah gratis. Apa susahnya masuk sekolah?” Bahkan orang tua siswa juga kena damprat, nggak urusan meski pada nenteng golok. Alasannya karena banyak orang tua yang melarang anaknya sekolah untuk bantu orang tua bekerja, terutama di musim panen. Mungkin bagi orang yang tidak paham kondisi (terutama masyarakat kota) akan langsung iba dan mengatakan “ya gak papa lah, bantu orang tua juga demi hidup.” Tapi ternyata masalahnya adalah, memang pada umumnya warga laki-laki ditempat saya mengajar tersebut memang malas-malas. Dulu di kampung kakek saya, orang pergi ke sawah setelah subuh, dan pulang menjelang maghrib sedangkan anak-anak mereka sekolah dan baru ikut membantu setelah pulang sekolah. Sedangkan di tempat saya mengajar, mereka baru ke ladang sekitar pukul 10 pagi. Saya benar-benar mengamati bagaimana mereka bekerja, datang ke ladang masak air, merokok lalu bekerja 1 jam kemudian, tidak lama kemudian istirahat menjelang shalat dhuhur, stelah shalat dhuhur makan ngopi dan merokok kemudian lanjut lagi hingga menjelang shalat ashar, dan pulang setelah shalat Ashar. Peternak di tempat saya pun bercerita yang sama tentang kemalasan warga. Saya dan peternak saya yang juga seorang guru pernah berinisiatif untuk merubah pola tersebut, tetapi tetap saja mereka tidak mau berubah.

Saya juga pernah berkeliling pulau Jawa untuk mencari lokasi lahan peternakan di pedesaan di pulau Jawa, tapi kami tidak menemukan lokasi yang tepat, bukan karena lahan tidak subur, tetapi tabiat masyarakatnya yang tidak baik. Mungkin ini bisa menjadi alasan kenapa pemerintah selalu gagal dengan program daging murah. Tapi ya sudah lah, saya tidak mau bahas harga daging saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline