Lihat ke Halaman Asli

Kembali untuk Belajar

Diperbarui: 1 Oktober 2023   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada suatu hari penulis berjumpa dengan seorang bapak-bapak dalam percakapan itu ada sedikit obrolan terkait perilaku remaja dan peserta didik pada saat ini. Kerap perilaku remaja yang masih berusia sekolah sangat meresahkan kehidupan masyarakat. Mereka berkumpul, bergerombol sambil merokok sampai larut malam bahkan ada indikasi mereka para pemuda ini terlibat tawuran dan narkoba.

Singkat cerita bapak-bapak itu berseloroh dengan nada bercanda "bikin anak aja bisa..!" nggak tapi untuk merawat dan membesarkan nggak bisa. Nada yang tercengan buat kami seakan-akan candaan itu memang realitas kehidupan masyarakat. Seolah-olah mereka mampu membuat anak akan tetapi untuk membesarkannya sulit dengan berbagai hambatan dan rintangan.

Proses pendidikan yang seharusnya para remaja dan peserta didik memiliki karakter dan ilmu pengetahuan yang mumpuni ternyata tergerus dengan diserupsi teknologi yang berkembang saat ini. Teknologi yang berkembang tak bisa mengimbangi kadar pengetahuan dan karakter mereka sehingga perilaku menyimpang mewarnai kehidupan mereka. 

Dalam istilah sosiologi perilaku menyimpang itu ada sosialisasi yang tidak sempurna yang dilakukan oleh orangtua, guru, dan masyarakat. Proses sosialisasi yang diterima oleh remaja dan peserta didik tidak terekam dengan baik dalam pikiran dan hatinya yang diajarkan oleh orangtua dan gurunya. Bisa juga karena kurangnya pembinaan yang diberikan oleh keluarga dan sekolah terkait dengan nilai dan norma serta ajaran agama. 

Menurut Astri Sulistiani dalam buku Konsep Penanggulangan Perilaku Menyimpang Siswa (2021), proses sosialisasi yang tidak sempurna disebabkan oleh lemahnya penyerapan nilai dan norma. Individu yang salah atau kurang memahami nilai dan norma sosial akan mengalami proses sosialisasi yang tidak sempurna. Misal, sejak kecil, anak tidak dididik untuk menaati peraturan. Bahkan ia sering melihat orangtuanya melanggar peraturan. Ketika dewasa, anak itu akan mengalami proses sosialisasi yang tidak sempurna. Karena ia memandang bahwa aturan itu ada untuk dilanggar.
Sumber

Ada sesuatu yang salah ketika mengajarkan k epada remaja dan peserta didik terkait dengan karaketr nilai dan norma. Ada rasa masa bodoh barangkali dari sikap orangtua terhadap pendidikan putra-putrinya yang menyerahkan semua pendidikan kepada sekolah dan gurunya. Ada rasa cuek dan enggan dari orangtua dalam memandang bahwa peran pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan anaknya. 

Adanya rasa kriminalitas pada peserta didik pada saat ini mungkin ada kesalahan kita sebagai orangtua yang tak peduli dan fokus kepada pendidikan anak. Kita sebagai orangtua lebih fokus kepada persoalan ekonomi dan urusan perut semata. Bisa juga dirumah kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Orangtua bertindak kasar dan tidak memberikan contoh yang baik kepada anaknya. Sisi yang lain mungkin ada rezeki yang didapatkan oleh orangtua tercampur oleh reziki yang haram.

Mari kita belajar mengkoreksi diri sebagai orangtua untuk tidak menyalahkan siapapun terhadap persoalan yang terjadi terkait tindakan kriminalitas saat ini. Sebagai orangtua belajar untuk intropeksi diri lebih dalam lagi anak itu sebenarnya butuh perhatian dan kasih sayang yang cukup. Belajar untuk mengkoreksi rizki yang didapatkan apakah bersumber kepada yang halal atau haram. Karena sebagian rizki orangtua akan masuk ke dalam daging dan darah seorang anak hingga dewasa kelak.

Beberapa penyebab terjadinya penyimpangan seorang individu (faktor objektif), yaitu

1.Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan. Keadaan itu terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home). Apabila kedua orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan sempurna maka anak itu tidak akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga.Serta tidak mampu memahami nilai dan normanya
2.Proses belajar yang menyimpang. Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang karena seringnya membaca atau melihat tayangan tentang perilaku menyimpang. Hal itu merupakan bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan karena proses belajar yang menyimpang. Misalnya, seorang anak yang melakukan tindakan kejahatan setelah melihat tayangan rekonstruksi cara melakukan kejahatan atau membaca artikel yang memuat tentang tindakan kriminal. Demikian halnya karier penjahat kelas kakap yang diawali dari kejahatan kecil-kecilan yang terus meningkat dan makin berani/nekad merupakan bentuk proses belajar menyimpang. Hal itu juga terjadi pada penjahat berdasi putih (white collar crime) yakni para koruptor kelas kakap yang merugikan uang negara bermilyar- milyar. Berawal dari kecurangan-kecurangan kecil semasa bekerja di kantor/mengelola uang negara, lama kelamaan makin berani dan menggunakan berbagai strategi yang sangat rapi dan tidak mengundang kecurigaan karena tertutup oleh penampilan sesaat.
3.Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial. Terjadinya ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial dapat mengakibatkan perilaku yang menyimpang. Misalnya jika setiap penguasa terhadap rakyat makin menindas maka lama-kelamaan rakyat akan berani memberontak untuk melawan kesewenangan tersebut. Pemberontakan bisa dilakukan secara terbuka maupun tertutup dengan melakukan penipuan-penipuan/pemalsuan data agar dapat mencapai tujuannya meskipun dengan cara yang tidak benar. Penarikan pajak yang tinggi akan memunculkan keinginan memalsukan data, sehingga nilai pajak yang dikenakan menjadi rendah. Seseorang mencuri arus listrik untuk menghindari beban pajak listrik yang tinggi. Hal ini merupakan bentuk pemberontakan/perlawanan yang tersembunyi.
4.Ikatan sosial yang berlainan. Setiap orang umumnya berhubungan dengan beberapa kelompok. Jika pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku yang menyimpang, maka kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola perilaku menyimpang.
5.Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang. Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak kejahatan (perilaku menyimpang) menyebabkan anak secara tidak sengaja menganggap bahwa perilaku menyimpang tersebut sesuatu yang wajar. Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar dari sub-kebudayaan yang menyimpang, sehingga terjadi proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan menyimpang pada diri anak dan anak menganggap perilaku menyimpang merupakan sesuatu yang wajar/biasa dan boleh dilakukan.

Apa yang terjadi pada saat ini merupakan respon dari proses pembelajaran dan sosialisasi yang diterima oleh seorang anak di rumah, disekolah bahkan dimasyarakat. Benturan arus budaya teknologi yang maju dapat memberikan efek kejut bagi perubahan sikap remaja dan peserta didik. Menggunakan gawai yang terlalu berlebihan dapat menggerus sel-sel otaknya sehingga menjadi terhipnotis terhadap gawai yang dipegangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline