Lihat ke Halaman Asli

Pandu si Manis 25

Diperbarui: 9 September 2023   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika membaca suatu berita terkait kesadaran membaca dan literasi pada kalangan peserta didik serta masyarakat itu rendah. Maka yang ada dalam benak pikiran saya adalah ada apa kok bisa rendah? begitulah guman saya dalam hati yang terdalam. Apalagi ketika pemerintah menggulirkan Assesmen Nasional Berbasis Komputer yang didalamnya terkait dengan survey lingkungan belajar, soal analisia AKM dengan muatan literasi dan numerasi.

Apakah gerangan yang menyebabkan begitu rendahnya daya literasi masyarakat Indonesia terutama dikalangan peserta didik. Padahal setiap kegiatan belajar mata pelajaran dari tingkat SD hingga SMA/SMK secara pasti di dalamnya terdapat aktifitas literasi. Lalu dimanakah yang salahnya sehingga daya dobrak dan daya juang untuk literasi masih terasa kurang. Itu pun literasi terkait dengan hal-hal yang umum namun bagaimana literasi bagi umat Islam menyangkut membaca dan memahami Al Quran juga hampir sama posisinya. 

Proses perkembangan ilmu pengetahuan teknologi sudah memasuki era masyarakat society yang melek akan perkembangan IPTEK. Akan tetapi warna pemahaman dan perkembangan kegiatan literasi masih berjalan di tempat. Belum menjadi booming dan menjadi sesuatu yang viral dalam perkembangan literasi. Malah yang viral terkait dengan persoalan gaya hidup, bully, berita bohong yang terkadang masyarakat banyak tertipu terhadap kejelekan dari perilaku manuasia yang memanfaatkan teknologi untuk hal yang negatif.

Padahal gawai yang mereka pegang kadang sampai 24 jam sehari-semalam tapi gawai yang ada malah banyak dimanfaatkan oleh generasi penerus untuk bermain games online, Judi online serta hal yang negatif dari perkembangan internet. Sehingga menjadi sesuatu hal yang ketergantungan terhadap adanya judi dan games online. Proses itu masuk ke dalam ruang privasi dan bahkan mereka para peserta didik kadang asik memainkan games online ketimbang untuk belajar dan membaca.

Kadang aktifitas kehidupan peserta didik  terutama yang smp dan sma/smk tidak bisa mengatur waktunya dengan baik. Pola ketergantungan dengan gawainya ibarat telah menjadi teman setia yang tak boleh terpisahkan. Padahal kalau dimanfaat dengan benar maka gawai yang digunakannya dapat dijadikan sebagai media literasi digital. Karena pada saat ini semua produk buku fiksi dan non fiksi dapat diakses cepat di dalam google atau peramban pencari data. Untuk pengiriman datanya pun juga cepat kalau dulu menggunakan surat kemudian email sekarang dengan wa dan telegram saja sudah dapat mengirim dokumen.

Menurut OECD, di bidang membaca, sekitar 27% siswa Indonesia memiliki tingkat kompentensi 1b, sebuah tingkatan dimana siswa hanya dapat menyelesaikan soal pemahaman teks termudah, seperti memetik sebuah informasi yang dinyatakan secara gamblang, misalnya dari judul sebuah teks sederhana dan umum atau dari daftar sederhana. Mereka memperlihatkan kemampuan di beberapa sub-keterampilan, atau elemen dasar literasi membaca, misalnya pemahaman kalimat harfiah, namun tidak mampu menyatukan dan menerapkan keterampilan tersebut pada teks yang lebih panjang atau membuat kesimpulan sederhana. 

Masih menurut OECD, di bidang matematika, sekitar 71% siswa tidak mencapai tingkat kompetensi minimum matematika. Artinya, masih banyak siswa Indonesia kesulitan dalam menghadapi situasi yang membutuhkan kemampuan pemecahan masalah menggunakan matematika. Biasanya mereka tidak mampu mengerjakan soal perhitungan aritmatika yang tidak menggunakan bilangan cacah atau soal yang instruksinya tidak gamblang dan terinci dengan baik. https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/mengkaji-kembali-hasil-pisa-sebagai-pendekatan-inovasi-pembelajaran--untuk-peningkatan-kompetensi-li

Secara umum program gerakan literasi sekolah di semua sekolah di Indonesia sudah berupaya melakukannya dengan sesuatu hal yang terbaik untuk pengembangan literasi. Seperti contoh sekolah dapat menerapkan dan berupaya melakukan perbaikan kualitas literasi dengan berbagai hal  : Pertama melaksanakan pembelajaran berbasis HOTS Literasi, Ketiga melaksanakan Penilaian Tengah Semester/Akhir Semester dengan memanfaatkan teknologi, Ketiga melaksanakan uji coba soal-soal dengan format seperti soal tes AKM dalam setiap pembelajaran.

Kelima mewujudkan generasi literat melalui Gelang Si Manis (Gerakan Literasi Mengangkat Prestasi dengan Membaca dan Menulis), Kelima meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran berbasis HOTS Literacy melalui pembekalan workshop mandiri atau mengirim utusan mengirim guru belajar. Keenam mengadakan lomba-lomba dalam penguatan literasi membaca dan digital dalam program bulan bahasa. Ketujuh Mengadakan program satu guru satu buku dan satu murid satu buku. Kedelapan program kunjungan dan belajar di perpustakaan. Kesembilan mengadakan workshop mengenai literasi dan numerasi

Ragam pekerjaan rumah sangat berat dalam mengembangkan literasi butuh kepedulian dari semua pihak. Gerakan Literasi Nasional atau GLN adalah induk gerakan literasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Cikal gerakan ini adalah Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Lembaga yang menjadi koordinator gerakan ini adalah Badan Bahasa yang sejak tahun 2019 berubah nama menjadi Badan Bahasa dan Perbukuan.

Fokus utama GLN meliputi literasi dasar yang terdiri atas enam aspek, yaitu literasi baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, dan budaya & kewargaan. GLN memiliki tiga turunan program, yaitu Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline