Lihat ke Halaman Asli

Bhineka di Nusantara dalam Tiga Serangkai

Diperbarui: 3 Maret 2022   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah narasi perjalanan anak manusia di bumi Nusantara yang memiliki suatu susunan budaya adiluhung. Yang di dalamnya memiliki ikatan emosional dan batin secara terukur dalam gagasan yang muncul setiap insan manusia yang berpijak di bumi nusantara. Ragam budaya terlintas dari ujung barat hingga ujung Timur nusantara, utara hingga selatan. Tergambar suatu kolektifitas kehidupan yang menyatu dalam konsep kebhinekaan.

Pada masa pergerakan nasional yang masih bernama terlahir beberapa tokoh bangsa dengan rekam jejak kebatinan dan pemikiran untuk membebaskan nusantra dari Penjajahan. Tokoh itu terdiri dari tiga orang anak muda yang berbeda ide dan pemikirannya. Tapi ia disatukan dengan ikatan kebatinan untuk bangkit melawan mengusir penjajah dari nusantara.

Gagasan yang meraka topang dengan membangun suatu organisasi pergerakan yang bernama Indiche Partij. Mereka bersinergi, merajut makna, dan membangun simpul pergerakan dengan asas persatuan nasional. E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat mereka bertiga bersepakat untuk  menuntut kemerdekaan Indonesia.

Mereka sering kali dipanggil dan dikenal dengan tokoh tiga serangkai karena rekam jejaknya dalam menyuarakan konsep kebhinekaan dan persatuan nasional serta kemerdekaan. Salah satu artikel yang ditulis oleh RM Soewardi Soerjaningrat berjudul "Als ik een Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda)". Dan beberapa tulisan lain dari Tjipto Mangoenkoesoemo yang diberi judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Douwes Dekker mengkritik dalam tulisan di De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat).

Goresan tinta yang penuh nafas perjuangan dihasilkan tiga serangkai dalam membangun kebersamaan dan kekuatan politik kolegial dalam memperjuangakan kemerdekaan dan kebebasan di negeri colonial Hindia Belanda. Mereka berjuang dengan cara sendirinya dalam merespon setiap gerak kehidupan kebangsaan di bawah cengkeraman Hindia Belanda. Dari Jurnalisme membangun artikel menyampaikan pesan moral kepada pemerintah colonial Belanda hingga menjadi Dokter ditengah kehidupan masyrakat Jawa hingga menjadi seorang pendidik.

Ketika Nusantara telah merdeka bernama Indonesia sejak 17 Agustus 1945 buah dari kerja keras seluruh komponen anak bangsa tak terkecuali perjuangan Tiga serangkai. Kemerdekaan yang didapat bukan hadiah atau titipan kolonialisme tapi buat perjuangan dengan cara bergerak menggunakan senjata dan menggunakan kekuatan organisasi nasional.

Perjalanan panjang sebuah bangsa yang bernama Indonesia dengan ribuan budaya dan adat istiadatnya serta luasnya hamparan samudra. Terpancar begitu mempesona negri ini dan eksotis dengan keindahan alamnya yang tiada duanya. Pancaran itu terkadang memunculkan suatu gejolak rasa dari anak bangsa yang tak bisa menahan emosi jiwanya. Tersulut suatu persoalan yang tak jelas ujung pangkalnya dan benang merahnya. Perdebatan menjadi ambigu di ruang maya karena tak  ada korelasi ilmiah di dalamnya.

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah "Berbeda-beda tetapi tetap satu". Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini: Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran).

Kata Bhineka telah terkikis setelah perdebatan dalam social media yang telah meruncing melampaui batas ide. Dulu masa pergerakan nasional tatkala penjajah masih menguasai setiap lini kehidupan. Muncul beranekaragam tokoh yang bisa menjadi rujukan pemikiran kebhinekaan dan kebangsaan. Yang saat rujukan pemikiran dan kalimat kebhinekaan perlu dirujuk menjadi satu poin persatuan nasional.

Tokoh dengan sebutan Tiga serangkai yaitu E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, Pemikirannya tentang kebhinekaan dan merdeka tanpa skat perlu dimunculkan sebagai suatu narasi baru dalam bermasyrakat dan bernegara. Douwes Dekker merupakan pemikir nasionalis. Menurutnya, gagasan bangsa Indonesia bukan kesatuan yang dibangun atas solidaritas etnis atau ras, keagamaan, atau kedekatan geografis, tetapi karena rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus. Tjipto beranggapan penggabungan unsur-unsur Barat dan Timur sebagai faktor penting dalam menjamin pertumbuhan subur bagi negara dan rakyat, termasuk bagi kaum bumiputera di Hindia atau Indonesia. Bagi Soewardi Soerjaningrat, tujuan nasionalisme adalah menghapuskan dominasi kolonial dan menyadarkan kaum peranakan, indo, dan bumiputera harus bersatu menghadapi musuh yang sama, yaitu pemerintah kolonial. di artikel "Tiga Serangkai Indische Partij dalam Sejarah Pergerakan Nasional"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline