Melihatmu menangis itu, dulu, waktu Mami menemukanmu terlantar di trotoar. Di depan rumahnya. Tujuh bulan ke belakang.
"Sudah tujuh hari," katamu di sela sedu. Kepada Mami kamu mengaku, pergi dari panti setelah tujuh tahun dikurung. Kamu kabur, tanpa tahu arah tujuan. Menggelandang dari sudut ke sudut kota. Sebatangkara. Tanpa sanak saudara. Tanpa tahu harus meminta bantuan siapa. Ya, itu terahir kali melihatmu menangis.
Berbulan-bulan, sejak Mami menampungmu, tak pernah lagi airmatamu terlihat berurai. Bahkan, ketika Mami meninggal tujuh hari yang lalu pun, kamu tak terlihat bersedih. Padahal kurang baik bagaimana Mami padamu? Mangangkatmu dari jalanan. Memberimu pakaian. Memberimu kasih sayang. Berbulan-bulan. Kamu diberinya tempat. Segala kebutuhanmu dipenuhi. Diperhatikan. Dijadikan keluarga.
"Yang mati tak akan hidup lagi dengan ditangisi," katamu. Tanpa airmata.
Baru malam ini, aku melihat matamu kembali berlinang.
"Tujuh orang," katamu di sela sedan, "termasuk..."
Ragu-ragu kamu melirik padaku, ketika polisi-polisi itu menanyakan siapa saja yang turut memutilasi Mami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H