Dia pernah bercita-cita ingin jadi astronot. Seperti Armstrong atau Gagarin.
"Ingin pergi ke bulan," katanya. Ingin bertemu Nini Anteh dan kucingnya, yang sering disebut dalam cerita dongeng ayahnya.
Dia suka sekali memandangi bulan dari jendela kamarnya. Menatapnya tanpa berkedip.
Jika kebetulan lengah, dipetiknya bulan secepat kilat. Bulan baru. Bulan perahu. Bulan separuh. Bulan terang. Bulan suram. Satu-satu dikumpulkan. Disimpan. Disusun dengan rapih di dalam lemari. Tidak peduli warga kampung kebingungan, lantaran setiap malam kehilangan bulan.
Sesekali, bulan dibiarkan berserak di atas ranjang. Bulan miliknya. Bulan tetangga. Bulan kerabat. Dan bulan entah milik siapa. Bergantian, bulan dimainkan. Dimandikan. Dipakaikan baju. Dibedaki. Ditimang. Dipeluk. Diciumi. Dibawa tidur.
Begitulah kerjaannya setiap malam, sejak sang ayah berulang kali datang ke atas ranjang, sekedar menitipkan bulan di dalam perutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H