Lihat ke Halaman Asli

Indah Wati

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Tak Diatur dalam Kode Etik, Clickbait Bentuk Kebebasan Pers?

Diperbarui: 26 Juni 2023   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by kirui kiptoo from Pixabay

Kehadiran internet membuat jangkauan pembaca semakin meluas dengan adanya media massa. Hal tersebut memancing timbulnya fenomena baru yang dikenal sebagai click bait atau umpan klik. Click bait merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk memancing khalayak agar tertarik terhadap suatu konten tertentu. Banyaknya media online yang hadir di ruang virtual menimbulkan persaingan ketat antar perusahaan media. Hal tersebut mendorong mereka untuk berlomba-lomba meningkatkan traffic dengan melakukan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dinilai cukup ampuh adalah dengan melakukan click bait pada judul berita. Wartawan media membuat judul yang terkesan bombastis dengan harapan dapat menarik khalayak untuk membuka berita tersebut. Dengan semakin banyak jumlah pengunjung pada laman portal berita tesebut, semakin banyak pula keuntungan yang akan diraup.

Tidak ada yang salah dengan membubuhi click bait dalam sebuah judul berita. Judul merupakan sebuah kunci dalam suatu tulisan yang mana berperan besar dalam menentukan ketertarikan seseorang untuk membacanya lebih lanjut. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memberi judul yang menarik. Namun demikian, click bait akan menjadi salah apabila judul bersifat provokatif dan terlalu jauh dari isi berita yang sesungguhnya sehingga terjadi sebuah penyesatan informasi. Realitanya banyak ditemukan media massa yang seperti itu. Media-media terjebak dalam selera ‘koran kuning’ dengan judul berita bombastis dan tidak memedulikan isinya yang tidak lagi substansial. Meski telah menuai banyak kritikan, koran kuning masih membanjiri pemberitaan media online Indonesia dengan berdalih atas nama kebebasan pers. Lantas beginikah kebebasan pers yang sesungguhnya? Memberi kebebesan yang sebebas-bebasnya kepada jurnalis sehingga banyak pihak yang tertipu.

Click bait yang berlebihan sama saja dengan membohongi pembaca. Apabila sebuah berita telah bersifat mampu menipu pembaca, bersifat provokatif terhadap salah satu pihak hingga bermuara pada fitnah, maka tentu saja hal tersebut telah melanggar kode etik jurnalistik pasal 4. Pada kode etik jurnalistik pasal 4 telah disebutkan bahwa wartawan dilarang untuk membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Meskipun tidak ada pasal sendiri yang mengatur penggunaan click bait dalam kode etik jurnalistik, tetapi pasal 4 tersebut dapat dijadikan landasan dalam batasan penggunaan click bait. Namun, banyak jurnalis yang nyatanya mengabaikan hal itu. Dengan berdasar atas kebebasan pers, tidak jarang jurnalis seolah keblabasan dalam memilih diksi nyentrik yang digunakan pada judul berita. Jurnalis membuat judul-judul picisan dengan dalih sebagai bentuk ekspresi alih-alih berusaha menarik perhatian pembaca demi meningkatkan traffic perusahaan.

Keberadaan click bait yang mulanya digunakan sebagai umpan pembaca, kini justru merusak citra kerja jurnalis sendiri. Jurnalis tidak lagi dipandang baik sebagaimana fungsinya untuk mengungkap kebenaran dan berdiri di atas kepentingan publik. Masyarakat telah menilai jurnalis sebagai pemecah bela bangsa dengan judul provokatif dan mengundang perselisihan demi keuntungan pribadi semata. Rasa kekecewaan masyarakat menodai citra jurnalis sekaligus media masa sebagai penyedia berita tersebut. Lebih parah lagi, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia membuat situasi semakin runyam. Pembaca yang malas hanya akan menilai dari judul berita yang telah disajikan dan kemudian mengambil kesimpulannya sendiri. Apabila judul yang dibacanya ialah click bait semata, maka akan menimbulkan kerusuhan. Kasus-kasus demikian telah kerap kali terjadi, khususnya dalam jagad maya. Banyak ditemukan kericuhan antar masyarakat yang terjadi di media sosial bersumber dari judul berita click bait yang provokatif. Judul berita tersebut menjurus pada berita hoax, terlebih apabila menyangkut sebuah individu atau ketokohan seseorang. Meskipun kasus seperti itu telah sering terjadi, dewan pers tampaknya tetap tutup mata. Tak ada kebijakan yang dibuat untuk menanggulangi permasalah click bait. Padahal, click bait yang tampaknya sepele dapat menjadi sebuah permasalahan yang membahayakan.

Tak adanya aturan langsung dari dewan pers mengenai click bait, bukan berarti jurnalis semena-mena dalam memilih judul yang fantastis dan menipu pada sebuah pemberitaan. Meskipun tak tertuang dalam kode etik, hendaknya jurnalis menggunakan etika dan rasa empati dalam pemilihan judul. Dengan begitu diharapkan dapat meminimalisir keberadaan berita dengan kualitas koran kuning yang kurang bermutu. Jurnalis dapat lebih bijak lagi dalam memilih judul dan masyarakat sebagai pembaca dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap judul berita yang terkesan provokatif dan terlalu berlebihan. Apabila dewan pers belum mampu menangani fenomena click bait yang sudah keterlaluan ini, maka masyarakat sendiri yang harus turun tangan dalam memberikan kontrol terhadap kinerja jurnalis dalam menerbitkan sebuah berita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline