Lihat ke Halaman Asli

INDAH SARI BR TAMBUNAN

mahasiswa uinsu prodi Tadris Bahasa Indonesia

Bahasa yang Hilang

Diperbarui: 23 November 2024   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota yang sibuk, di tengah keramaian yang tak pernah tidur, seorang wanita muda bernama Rina berdiri di depan kaca jendela apartemennya. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, menciptakan suasana yang kontras dengan kesendiriannya. Rina baru saja kembali dari perjalanan panjang ke desa asalnya, sebuah desa di pinggiran yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Namun, setelah kembali ke kota, Rina merasa seperti ada jarak yang besar antara dirinya dan kampung halamannya.

Rina lahir dan besar di desa yang tenang. Dialek yang digunakan penduduk desa sangat kental, penuh dengan nuansa tradisi dan keakraban. Namun, semenjak kuliah di kota, Rina merasa bahasa desa yang dia bawa terasa "kuno" dan tak cocok dengan dunia baru yang dia hadapi. Ia mulai menggunakan bahasa Indonesia baku yang lebih mudah dimengerti oleh teman-temannya di kampus, yang sebagian besar datang dari kota besar. Bahkan, ia mulai merasa sedikit canggung setiap kali pulang dan berbicara dalam dialek desanya.

"Rina, kok rasanya ngomong mu gitu?" tanya ibu Rina suatu hari setelah dia pulang ke rumah. "Kok kaya nggak ada rasa lagi? Kayak orang kota."

Rina tersenyum canggung. "Aku cuma nggak mau ribet, Bu. Kalau di kota, kan lebih enak ngomong yang langsung jelas. Lagian, kayaknya lebih sopan kalau ngomong pakai bahasa yang lebih 'standar', kan?"

Ibu Rina terdiam, tidak menyangka anaknya akan mengubah cara bicara hanya karena dunia baru yang ia masuki. Bagi ibu, dialek desa adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dipisahkan. Itu adalah cara untuk menjaga hubungan dengan leluhur, dengan sejarah, dan yang lebih penting, itu adalah cara untuk mengingat asal-usul mereka. Tapi bagi Rina, segala sesuatu yang terasa "kuno" di mata dunia luar, seperti dialek itu, tampaknya tak lagi relevan.

Bahkan di kota, Rina mulai merasa seperti orang asing di tengah keramaian. Teman-teman kuliahnya sering bercakap-cakap dengan logat yang berbeda, lebih halus, lebih cepat, dan lebih ringkas. Rina merasa lebih mudah mengerti bahasa mereka, tapi pada saat yang sama, dia mulai merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Dia mulai memaksakan dirinya untuk berbicara dengan cara yang berbeda, lebih mengikuti gaya bicara teman-temannya.

Suatu malam, Rina duduk di sebuah kafe bersama dua temannya, Sarah dan Lia. Mereka sedang membahas tugas kuliah yang menumpuk, namun percakapan mereka lebih banyak berfokus pada tren terbaru di media sosial, tempat wisata yang baru buka, dan gosip-gosip kota.

"Eh, Rina, kamu liburan kemarin ke mana aja sih? Kayaknya nggak update banget deh!" tanya Lia sambil menyeruput kopi.

Rina menghela napas, sedikit merasa canggung. "Ke kampung halaman, kok. Cuma ya... nggak seru-seru banget sih. Nggak ada yang baru gitu."

"Wah, gitu ya? Iya sih, kampung kan memang gitu. Cuma pemandangan sama suasana yang nggak berubah-ubah," jawab Sarah sambil tertawa, seolah menganggap hidup di desa itu membosankan.

Rina tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia merasa seperti ada yang hilang. Di desa, dialek itu adalah sesuatu yang berharga. Tapi kini, setiap kali ia mencoba mengingatkan dirinya untuk berbicara seperti dulu, ia merasa seolah dunia ini tidak mempedulikan hal-hal seperti itu. Di kota, cara bicara orang lebih praktis, lebih cepat, dan lebih diterima. Bahasa desa yang dahulu memberi rasa kehangatan, kini terasa seperti beban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline