[caption id="" align="aligncenter" width="545" caption="Ilustrasi Kompasiana / Shutterstock"][/caption]
Aku tidak punya jawaban untuk ini, tapi aku mau menyanyikan ini, supaya terdengar.
***
Hari ini, sembilan puluh hari setelah penyelenggaraan BPJS-Kesehatan di Indonesia. Mereka menamakannya semua kebijakan. Untuk kebaikan seluruh rakyat negara ini. Apa yang bijak? Program ini? Atau keputusan untuk melaksanakannya per 1 Januari 2014 kemarin? Yang mana yang bijak? Tulisan ini bukan untuk mencaci. Ini murni sebuah curahan hati, analisa yang ditulis dengan empati.
Bayi F, 1 tahun 2 bulan, datang ke IGD Rumah Sakit A, digendong Ibunya yang panik karena anaknya tidak lagi rewel sejak 1 hari. Dari jauh Bayi F terlihat sianosis, bibirnya biru. Bayi F sesak berat, Acute Respiratory Distress Syndrome akibat pneumonia berat. Dokter instruksi tatalaksana emergensi. Persiapan pemasangan alat-alat invasif, jalur intravena dan pemberian obat intravena. Seorang perawat dan petugas administrasi mengingatkan dokter untuk tidak bertindak gegabah karena pasien belum diketahui jaminannya apa, siapa nanti yang menanggung semua biaya tindakannya. Dokter tetap instruksi, bodo amat katanya dalam hati, yang penting pasien ini jangan sampai mati. Yang aku tangani pasiennya, bukan jaminannya. Setelah pasien di tangani, proses administrasi berjalan dan diketahui kemudian pasien ini menggunakan jaminan BPJS. Rumah Sakit A tidak memiliki fasilitas PICU (ruang rawat intensif anak) maka pasien harus dirujuk. Proses rujukan dilakukan melalui call center DKI Jakarta, 119 dengan cara melaporkan diagnosis dan kondisi pasien saat ini, lalu pihak tersebut yang akan mencarikan ruangan untuk pasien ini di Rumah Sakit manapun yang memiliki fasilitas PICU dan dijamin oleh BPJS. Sementara proses rujukan berjalan, pasien tetap berada di IGD Rumah Sakit A, dengan alat yang terbatas, masker oksigen, obat drip intravena, tanpa pulse oximetry. Apabila 119 berhasil mendapatkan Rumah Sakit rujukan maka pasien akan dijemput dengan ambulans propinsi, 118 dan diantar ke Rumah Sakit tujuan. 24 jam setelah Bayi F datang ke IGD, dia mendapatkan ruang perawatan di Rumah Sakit rujukan. 24 jam, Bayi F harus menunggu di IGD, kondisinya semakin memburuk. 24 jam, ibunya terus menangis di samping tempat tidur IGD sambil bertanya apakah dapat ruangan di RS rujukan setiap satu jam sekali. 24 jam, para petugas kesehatan Rumah Sakit A melayani dengan mencelos dalam hati.
Perih rasanya. Sangat perih.
Kasus demi kasus terjadi, Bayi F hanya satu dari sekian. Tidak semua kasus pasien jaminan BPJS dapat ditangani di Rumah Sakit A. Pasien dengan kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit tipe yang lebih tinggi. Namun proses rujukan yang sangat lama menjadi masalah. Kondisi pasien semakin memburuk pada saat menanti proses rujukan, bahkan ada yang sampai meninggal sambil menunggu dapatnya ruang perawatan di Rumah Sakit rujukan. Respon balik dari 119 yang lama, meresahkan keluarga. Operator 119 dengan mudahnya menjawab “Ya silahkan ditunggu 1 sampai 2 jam untuk kabar dapat ruangan atau tidak”. Tapi, bukan 119 yang menghadapi keluarga yang panik, cemas dan takut. Kami, para petugas kesehatan pelaksana yang menghadapi mereka.
Satu bulan setelah Rumah Sakit A mengikuti pelaksanaan BPJS, dikeluarkan sebuah aturan internal, bahwa waktu pelayanan di IGD maksimal hanya 2 jam. Pasien harus sudah masuk ruang perawatan atau sudah dirujuk dalam waktu 2 jam. Aturan internal juga menjelaskan pasien yang termasuk kategori gawat darurat harus ditangani kegawatdaruratannya terlebih dahulu. Ironis. Sangat ironis. IGD Rumah Sakit A tidak memiliki defibrilator, tidak memiliki intubation-kit yang stand-by, tidak memiliki syringe pump, dan Rumah Sakit A hanya memiliki satu ambulans stand by untuk rujuk pasien kasus berat (terutama yang saat ini dirawat di HCU/ICU). Sekarang, bagaimana caranya menangani pasien maksimal dalam waktu 2 jam sudah harus naik rawat di ruangan atau dirujuk, dengan keterbatasan alat seperti ini? Proses rujukan BPJS yang seperti ini, bagaimana mungkin diwujudkan hanya dalam waktu 2 jam? Aku tidak berani menganalisa, apakah keputusan manajemen ini sedikit banyak dipengaruhi fakta bahwa klaim BPJS Rumah Sakit A selama bulan pertama ditolak. Rumah Sakit A merugi ratusan juta. Tapi, bukan pihak manajemen yang menghadapi pasien dan keluarga yang panik, cemas serta takut. Kami, para petugas kesehatan pelaksana yang menghadapi mereka
Ny.M, 65 tahun, pasien rutin kontrol ke poli jantung Rumah Sakit A, kali itu datang ke IGD diantar anaknya karena sesak berat sejak 2 hari. Ny.M memiliki riwayat penyakit Hypertensive Heart Disease dengan Coronary Artery Disease. Hari itu, kondisi Ny.M memburuk karena edema paru yang disebabkan karena Congestive Heart Failure atau Decompensatio Cordis, gagal jantung. Dokter instruksi tatalaksana emergensi. Persiapan alat invasif dan obat-obatnya. Ny.M memiliki jaminan BPJS. Kasus Ny.M harus dirawat di ruang ICU karena ancaman gagal napas, fasilitas tidak tersedia di Rumah Sakit A, sehingga harus dirujuk. Dokter menjelaskan kepada keluarga kondisi Ny.M saat ini kasus yang seharusnya dirawat di ruang intensif di rumah sakit tipe lebih tinggi. Dokter juga menjelaskan rencana tatalaksana di Rumah Sakit A hanya di IGD dengan alat seadanya sampai proses rujukan sesuai dengan alur BPJS. Keluarga Ny.M tidak bisa menahan kaget ketika dokter menjelaskan fakta-fakta tersebut. Keluarga yang panik dan cemas akhirnya memutuskan lebih baik membawa ibu mereka ke rumah sakit tipe lebih tinggi yang dapat menangani kasus ibu mereka daripada harus menunggu di IGD Rumah Sakit A dengan alat seadanya entah sampai kapan. Ny.M keluar dari IGD Rumah Sakit A dalam kondisi masih sesak berat, menuju rumah sakit pemerintah tipe B yang terletak tidak jauh dari situ, atas permintaan keluarga. Lagi-lagi kami, para petugas kesehatan Rumah Sakit A melayani dengan mencelos dalam hati, bahkan beberapa menahan air mata.