Faktor Penyebab Stunting Pada Anak di Indonesia
Indah Permatasari
Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
indhprmtsr2004@gmail.com
PENDAHULUAN
Kurang gizi jangka panjang, yang disebabkan oleh asupan makanan yang rendah dalam jumlah waktu yang cukup lama, dikenal sebagai stunting. Stunting dapat terjadi sejak janin dalam kandungan dan tidak terlihat hingga anak berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Stunting adalah masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko sakit, kematian, dan hambatan pertumbuhan motorik dan mental. Ini terjadi ketika pertumbuhan tidak diimbangi dengan catch-up growth, yang berarti pertumbuhan menurun. Stunting pada anak balita menunjukkan pertumbuhan linier yang buruk selama periode kritis dan didiagnosis sebagai tinggi badan menurut usia kurang dari 2 standar deviasi dari median standar pertumbuhan anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (WHO, 2006). Konsekuensi dari stunting pada anak dapat bersifat langsung dan jangka panjang, termasuk peningkatan angka kesakitan dan kematian. buruknya perkembangan dan kapasitas belajar anak, peningkatan risiko infeksi dan penyakit tidak menular di masa dewasa, serta penurunan produktivitas dan kemampuan ekonomi (Stewart, Iannotti, Dewey, Michaelsen, & Onyango, 2013). Pengurangan stunting pada anak merupakan tujuan pertama dari enam tujuan dalam Target Gizi Global untuk tahun 2025 (WHO, 2012) dan merupakan indikator kunci dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang kedua yaitu Zero Hunger (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2016).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 menyatakan bahwa kejadian balita stunting di dunia mencapai sebesar 22,9% atau 154,8 juta balita. Jumlah kejadian stunting di Indonesia termasuk ke dalam lima besar negara di dunia. Indonesia termasuk negara dengan prevalensi stunting tertinggi ketiga di South-East Asian Region setelah Timor Leste (50,5%) dan India (38,4%) dan Indonesia sebesar 36,4% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes, 2018). Di tahun 2019 angka prevalensi stunting nasional menjadi 27,67. Sedangkan pada tahun 2020 angka prevalensi nasional menjadi 24,1% (Kemenkes RI, 2020). Salah satu hal yang menjadi faktor terjadinya stunting terhadap balita adalah tingkat pengetahuan dan sikap keluarga mengenai asupan gizi dan tingkat pendidikan dari orang tua yang mempengaruhi pola pikir (Arnita et al., 2020). Orang tua memiliki peran penting dalam memenuhi gizi balita karena balita masih membutuhkan perhatian khusus dalam perkembangannya, lebih khususnya peran seorang ibu sebagai sosok yang paling sering bersama dengan balita. Jika seorang ibu memiliki pengetahuan yang baik tentunya akan mempengaruhi sikap yang baik juga dalam pemenuhan gizi balita (Olsa et al. 2017). Pengetahuan ibu yang baik diharapkan dapat diterapkan ke dalam perilaku sehari-hari, baik dalam perilaku pengasuhan, pemilihan makanan, serta pemberian makanan yang dapat memengaruhi tumbuh kembang balita. Namun, apabila ibu tidak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dapat berdampak buruk terhadap perkembangan balita seperti salah satunya stunting. Di beberapa keluarga, anak-anak justru lebih banyak mengkonsumsi makanan siap saji atau kemasan seperti snack, biscuit, sereal, dan junk food, sehingga berpengaruh besar terhadap kebutuhan gizi seimbang anak. Peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
BAGIAN (TEMUAN DAN ANALISIS)
Kerangka kerja WHO mengkategorikan penyebab terdekat stunting pada anak berdasarkan elemen (dan subelemen) berikut ini: faktor rumah tangga dan keluarga (faktor ibu dan lingkungan rumah), pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai (makanan berkualitas buruk, praktik yang tidak memadai, dan keamanan pangan dan air), pemberian ASI. (praktik yang tidak memadai), dan infeksi (infeksi klinis dan subklinis). Bab ini mengkategorikan faktor-faktor kontekstual yang sesuai ke dalam elemen luas, faktor komunitas dan kemasyarakatan, dengan sub-elemen berikut: ekonomi politik; kesehatan dan perawatan kesehatan; pendidikan; masyarakat, dan budaya; sistem pertanian dan pangan; dan air, sanitasi, dan lingkungan. Karena penyebab dan faktor kontekstual kerangka ini didasarkan pada data global, kami melakukan tinjauan literatur untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu dalam subelemen yang telah dipelajari di Indonesia. Penentu dalam literatur yang tidak secara spesifik tercantum dalam kerangka tersebut ditambahkan di bawah subelemen yang paling relevan. Kami menyajikan hasilnya dalam ringkasan naratif, yang biasa digunakan dalam tinjauan sistematis.
- Faktor rumah tangga dan keluarga
Dalam elemen ini, kerangka WHO mencakup subelemen faktor ibu dan lingkungan rumah. Ada delapan yang teridentifikasi faktor ibu: gizi buruk pada masa prakonsepsi, hamil, dan menyusui; perawakan ibu yang pendek; infeksi; kehamilan remaja; kesehatan mental; pembatasan pertumbuhan intrauterin (IUGR) dan kelahiran prematur; jarak kelahiran yang pendek; dan hipertensi. Diantaranya adalah gizi buruk pada masa prakonsepsi, kehamilan, dan menyusui; perawakan ibu yang pendek; IUGR dan kelahiran prematur; dan kehamilan remaja telah terbukti berhubungan dengan stunting pada anak di Indonesia. Rachmi dkk. (2016b) melakukan analisis sekunder terhadap Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS; 1993, 1997, 2000, dan 2007) yang dilakukan secara cross-sectional, yang mencakup 13 provinsi, dan menemukan AOR stunting pada anak usia 24-59 bulan sebesar 2,21 ( 95% CI [1.76, 2.78]) pada ibu dengan tinggi badan sesuai usiaZskor (HAZ).
Subelemen lingkungan rumah mencakup stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memadai, praktik pengasuhan yang buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kerawanan pangan, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak tepat, dan rendahnya pendidikan pengasuh. Penelitian di Indonesia menemukan bahwa stunting pada anak berhubungan dengan praktik pengasuhan yang buruk, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, kerawanan pangan, dan rendahnya pendidikan pengasuh. Faktor-faktor penentu lainnya yang tidak disebutkan secara spesifik dalam lingkungan rumah ditemukan berhubungan dengan stunting pada anak dalam literatur di Indonesia: indikator kekayaan rumah tangga, ayah dan ibu yang merokok, ayah yang bertubuh pendek, dan rumah tangga yang padat. Hanya satu studi cross-sectional yang melaporkan hubungan antara praktik pengasuhan anak yang buruk dan stunting pada anak-anak miskin perkotaan berusia 6-59 bulan, namun studi tersebut tidak mengungkapkan kekuatan hubungan tersebut (Bardosono et al., 2007). Rendahnya pendidikan pengasuh, terutama pendidikan ibu, berhubungan erat dengan stunting pada anak dalam berbagai penelitian. Bardosono dkk. (2007) juga mengamati bahwa pengetahuan gizi ibu yang tidak tepat dan pendidikan ayah yang rendah berhubungan dengan stunting pada anak-anak miskin perkotaan berusia 6-59 bulan antara tahun 1999 dan 2001-segera setelah krisis ekonomi pada tahun 1999. Secara umum, kemungkinan terjadinya stunting pada anak akan lebih tinggi jika tingkat pendidikan orang tuanya lebih rendah, meskipun hal tersebut tidak terjadi secara mutlak, dan kemungkinan terjadinya stunting biasanya dua kali lebih tinggi pada anak-anak dari orang tua dengan pendidikan terendah dibandingkan dengan pendidikan tertinggi.
Faktor ibu yang tidak dinilai hubungannya dengan stunting anak atau pertumbuhan linier dalam literatur di Indonesia meliputi infeksi, kesehatan mental, jarak kelahiran yang pendek, dan hipertensi. Faktor penentu lingkungan rumah yang tidak dinilai hubungannya dengan stunting pada anak atau pertumbuhan linier mencakup stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memadai serta alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak tepat.
- Pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memadai
Subelemen keamanan pangan dan air mencakup makanan dan air yang terkontaminasi, praktik kebersihan yang buruk, serta penyimpanan dan penyiapan makanan yang tidak aman. Penelitian mengenai makanan pendamping ASI (MPASI) di Indonesia hampir seluruhnya berfokus pada makanan berkualitas buruk (termasuk intervensi suplementasi dan fortifikasi), kecuali satu penelitian mengenai air yang terkontaminasi dan satu penelitian yang secara periferal membahas tentang pemberian makanan yang jarang diberikan.
Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, rumah tangga yang tidak memberikan makanan sesuai usianya - yang mencakup pola makan minimum yang dapat diterima dengan keragaman dan frekuensi yang memadai - dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan terjadinya stunting pada anak usia 0-23 bulan (UOR 1,39, 95% CI [1,09, 1,77]; Torlesse dkk., 2016).
- Pemberian ASI
Dua analisis terbaru oleh Rachmi et al. (2016b); Rachmi, Agho, Li, dan Baur (2016a) menunjukkan bahwa anak-anak yang disapih sebelum usia 6 bulan memiliki peluang lebih tinggi untuk mengalami stunting (AOR 3.16, 95% CI [1.91, 523] dan AOR 2.98, 95% CI [1.20, 7.41]). Penelitian yang sama juga mengamati bahwa pemberian ASI dalam waktu lama dikaitkan dengan prevalensi stunting pada anak yang lebih tinggi, namun tidak ada cukup bukti dalam penelitian cross-sectional ini untuk menentukan hubungan sebab akibat dan memperhitungkan faktor perancu secara memadai.
- Faktor komunitas dan kemasyarakatan
Faktor komunitas dan kemasyarakatan merupakan satu-satunya elemen penentu kontekstual stunting pada anak dalam kerangka WHO. Subelemennya meliputi ekonomi politik, kesehatan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, masyarakat dan kebudayaan, pertanian dan sistem pangan, serta air, sanitasi, dan lingkungan hidup. Dari semua hal tersebut, penelitian menemukan bahwa stunting pada anak dikaitkan dengan banyak faktor penentu ekonomi politik dan kesehatan serta layanan kesehatan, dan salah satu faktor penentu adalah air, sanitasi, dan lingkungan. Karena kami melaporkan indikator kekayaan rumah tangga berdasarkan lingkungan rumah, kami tidak menyajikannya kembali di sini, meskipun indikator tersebut tumpang tindih dengan faktor-faktor penentu dalam ekonomi politik (yaitu, kemiskinan, pendapatan, dan kekayaan; serta lapangan kerja dan mata pencaharian).
KESIMPULAN
Bukti-bukti yang ada di Indonesia terutama sejalan dengan penyebab-penyebab umum stunting pada anak yang diidentifikasi dalam literatur yang lebih luas: tinggi badan dan pendidikan ibu, kelahiran prematur dan panjang badan lahir, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, dan status sosial-ekonomi rumah tangga. Beberapa faktor penentu yang diidentifikasi dalam kerangka WHO belum dinilai dampaknya terhadap stunting pada anak di Indonesia, dan diperlukan penelitian untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan ini di Indonesia. Faktor komunitas dan kemasyarakatan juga penting-terutama dalam menangani masalah kesehatan dan layanan kesehatan-namun diperlukan lebih banyak penelitian untuk membahas hubungan antara ekonomi politik, pendidikan, masyarakat dan budaya, sistem pertanian dan pangan, serta air, sanitasi, dan lingkungan hidup dan anak. stunting, yang mungkin memainkan peran penting di Indonesia.
Selain ibu yang bertubuh pendek dan berpendidikan rendah, anak yang lahir prematur, dan rumah tangga miskin, anak-anak dari masyarakat miskin perkotaan dan khususnya pedesaan juga sangat rentan terhadap stunting. Anak laki-laki jauh lebih mungkin mengalami stunting dibandingkan anak perempuan di seluruh Indonesia; faktor biologis, kondisi kehidupan, dan perbedaan pola makan ibu yang kemungkinan besar menyebabkan perbedaan pertumbuhan berdasarkan jenis kelamin harus menjadi prioritas utama untuk penyelidikan lebih lanjut. Intervensi untuk mencegah stunting pada anak harus dimulai sebelum konsepsi untuk meningkatkan status gizi pada masa remaja dan kehamilan serta memfasilitasi pertumbuhan kehamilan yang memadai, dan dilanjutkan setidaknya sampai anak berusia 24 bulan. Analisis spasial terhadap data sekunder yang berisi faktor-faktor penentu stunting pada anak yang teridentifikasi harus dilakukan agar intervensi dapat bervariasi secara geografis sesuai dengan konteks lokal. Setidaknya, mengingat besarnya disparitas regional dalam hal prevalensi stunting pada anak di Indonesia, intervensi harus menyasar provinsi (atau sebaiknya kabupaten atau kabupaten) dengan beban stunting pada anak tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmadhita, K. (2020). Permasalahan Stunting dan Pencegahannya. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 225-229.
Sari, N. A. (2022). UPAYA PENGENDALIAN ANGKA KEJADIAN STUNTING MELALUI PENINGKATAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN GIZI SEIMBANG. Bhakti Community Journal, 28-37.
Ty Beal, A. T. (2018). A review of child stunting determinants in Indonesia. Wiley material & child nutrition, 1-10.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI