Riyanti memainkan jarinya sambil duduk di ruangan ekskul jurnalis. Ia sedang tidak ingin ngapa-ngapain dan melarikan diri dari jam kosong di kelasnya. Ruang kelasnya terlalu riuh, sehingga ia ingin sedikit ketenangan sambil memikirkan kegalauan hatinya.
Suara pintu terbuka membuat Riyanti menengok dengan malas. Afif berdiri di pintu, memandanginya, sebelum memutuskan masuk dan duduk di dekatnya.
"Aku mencarimu. Ternyata kamu di sini," ucap Afif.
"Hmm," gumam Riyanti. Dari seluruh temannya, seharusnya Afiflah yang paling tahu kalau ia sedang sangat bte.
"Move on, dong," ucap Afif pelan.
"Malas. Mungkin memang aku nggak bakat," balas Riyanti.
"Yang namanya lomba itu, siapa yang menang tergantung pada selera juri. Dari pada kamu terus-terusan cemberut, mending kita bikin lomba sendiri, yuk."
"Bikin lomba apa?" tanya Riyanti tanpa rasa antusias.
"Sembarang, lomba pantun, kek. Lomba nulis surat cinta, kek. Supaya kita bisa jadi dewan juri yang terhormat. Yang keputusannya tidak bisa diganggu gugat," ucap Afif dengan mimik muka lucu.
Riyanti tersenyum kecil, sedikit tergelitik. Ide Afif boleh juga. Lagipula sudah satu minggu ia uring-uringan sendiri gara-gara ia gagal di tiga lomba menulis yang diikutinya. Ia sampai pada tingkat kurang percaya diri bahwa ia punya bakat menulis. Ngapain juga ia bertahan jadi pengurus di ekskul jurnalis, kalau ternyata ia tak becus menulis!