Namaku Lincah. Aku juga tak habis pikir, mengapa mama dan papa menamaiku dengan kata itu. Kata papa, waktu lahir, tangisku kencang, lalu tangan kecilku sigap memegangi jari papa. Mataku juga langsung terbuka dan mengawasi papa dengan tajam dan bersinar-sinar.
Entahlah apa kata-kata papaku benar, atau ia cuma terbawa antusiasme memiliki anak pertama. Setelah aku tumbuh dewasa dan sering menghadiri acara aqiqah dan melihat bayi yang baru berumur beberapa hari, aku menyadari bahwa tidak mungkin seorang bayi baru lahir memandang tajam dengan mata bersinar-sinar.
Kalau mama yang kutanya, maka jawabnya adalah aku seperti bayi kebanyakan. Mama malah tidak paham bagaimana tingkah polahku sampai usia tiga hari.
Mama kehilangan banyak darah saat melahirkan aku, sehingga ia langsung ditransfusi dan dibawa ke ruang ICU. Untung kasih sayang Allah masih melimpah untukku, sehingga aku tak perlu kehilangan ibu di usia yang masih dini. Mama dapat sehat kembali. Di hari ketiga usiaku, pertama kali mama melihatku dalam gendongan papa. Kata papa, mama hanya dapat memandangi dengan air mata yang terus mengalir.
Walaupun proses kelahiranku sangat traumatik untuk mama, ternyata beliau masih semangat untuk memberiku adik. Manis lahir saat umurku empat tahun. Ia lahir lewat operasi caesar, karena papa tidak mau kejadian yang sama saat melahirkan aku terulang kembali.
Setelah Manis lahir, mama menjalani operasi kecil yang menyebabkan ia tak akan bisa punya anak lagi. Orang tuaku merasa cukup punya dua anak saja. Mereka tak perlu menunggu kedatangan anak lelaki, karena gender tak membuat mereka pusing. Toh mereka akan punya anak lelaki jika aku dan Manis kelak memiliki suami.
Kembali kepada namaku.
Terus terang aku merasa terbebani, karena aku merasa tidak lincah sama sekali. Aku justru tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan introvert. Berkebalikan dengan Manis, ia selalu berada di antara banyak teman dan senang tertawa riang. Mungkin nama kami tertukar. Tapi tidak juga, Manis benar-benar manis, dan lincah juga. Sementara aku bukan apa-apa.
Aku adalah anak yang jika tidak ada di suatu acara, orang tidak akan sadar dan acara akan berlangsung baik-baik saja. Sementara jika Manis alpa di suatu acara, orang akan mencarinya dan kecewa karena ia tidak datang.
Karena merasa jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan Manis, maka aku menjadi semakin pendiam. Namun aku juga menjadi anak yang tidak mau merepotkan. Aku jarang minta apapun pada orang tuaku, aku juga mengusahakan untuk selalu membantu mama di rumah dan tidak mau membuat masalah di sekolah agar orang tuaku tidak banyak pikiran.