Lebaran adalah hari yang istimewa. Dia adalah puncak dari masa-masa 30 hari menahan keinginan. Dia adalah gong dari segala olahan menu sahur dan buka. Dia adalah pintu masuk sebuah perayaan untuk semua orang. Bahkan untuk mereka yang tidak berpuasa sekalipun.
Puasa Ramadan, meski diwajibkan bagi yang sudah baligh, namun orang tua biasanya mengajari anak-anaknya berpuasa sejak usia dini sekitar saat TK atau SD kelas 1. Anak-anak dibiasakan makan sahur, tidak makan selama waktu berpuasa, lalu berbuka puasa, dan salat taraweh di masjid.
Anak-anak dilibatkan dalam seluruh keseruan Ramadan hingga saat menyiapkan Lebaran. Menyiapkan masakan dan kue lebaran, membersihkan rumah menyambut tamu, menyiapkan mudik, ikut silaturahmi ke keluarga, dan lain-lain.
Sebab itulah Ramadan dan Lebaran selalu terasa dekat di hati. Selalu dirindukan. Karena kita sudah menjalani ritualnya selama bertahun-tahun sebelum menciptakan ritual kita sendiri dengan keluarga kecil kita.
Dan dari ritual itu, selalu ada keping memori yang menyeruak hangat menyentuh hati saat Lebaran, yang selalu ingin kita ulang untuk mendekatkan kembali Lebaran masa kecil kita.
Bagi saya, keping kecil memori itu adalah kue kering keju, alias kastengel.
Sepanjang saya dapat mengingat, mama saya yang memang jago membuat kue dan menerima pesanan kue kering dulu, selalu menyediakan kue-kue kering bikinannya sendiri saat Lebaran. Saya masih mengingat beragam kuenya dan juga wadah-wadah fenomenal yang dipakainya.
Nastar yang dibuat mama awalnya bukan nastar bundar namun nastar yang bentuk lonjong seperti landak dengan duri-durinya. Nastar ini akan masuk dalam wadah warna hitam.
Jika mama membuat nastar dengan bentuk bundar, maka ia akan menancapkan sepotong cengkih kering sebagai gagang nastar dan menyebut si nastar sebagai kue jambu.
Kastengel masuk dalam wadah kristal putih persegi panjang dan wadah ini besar. Selain nastar dan kastengel, mama juga membuat lidah kucing, chochips cookies, janhagel, dan macam-macam kue lainnya.