Lihat ke Halaman Asli

Indah Novita Dewi

TERVERIFIKASI

Hobi menulis dan membaca.

Pengalaman Masa Kecil: Belajar Kemandirian di SD Negeri di Kota Kecil, Sumenep Madura

Diperbarui: 5 Desember 2022   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengatur nyala api kompor minyak tanah dengan menaik-turunkan sumbu dengan tuas (Sumber: sonora.id)

Melanjutkan kisah  masa kecil saya setelah pindah  dari sebuah SD swasta kota besar (Semarang) ke sebuah SD negeri di kota kecil (Sumenep) pada tahun 1984, kira-kira perubahan apa yang saya alami? Sebuah kemunduran atau kemajuan? Atau stagnan alias B aja?

Sebagai anak-anak waktu itu, banyak hal baru yang belum pernah saya alami di sekolah sebelumnya. Situasi dan aturan sekolah sangat berbeda. Di sekolah sebelumnya, murid hanya fokus belajar saja, sedangkan di sekolah yang baru, murid dituntut untuk menjadi bagian dari seluruh sendi kehidupan sekolah.

Begini cerita konkritnya, sewaktu saya bersekolah di SDN Kolor Sumenep, saya masih ingat ada jadwal piket di mana siswa harus bekerja di dapur membuat minuman teh untuk guru.

Mungkin seharusnya anak kelas 5-6 saja yang melakukannya tapi waktu itu saya yang masih kelas 4 juga kebagian giliran memasak air bersama teman. Nah, masak airnya menggunakan kompor minyak tanah yang harus dinyalakan dengan memantik api dari korek api, lalu mendekatkan api pada sumbu kompor.

Hmm, entah teman saya sedang sibuk apa, dia menyuruh saya menyalakan kompor. Namanya saya anak kota yang manja dan tidak pernah masuk dapur, saya terbengong melihat bentuk kompor yang tidak kelihatan sumbunya. Hanya kelihatan lubang melingkar tanpa sumbu. Korek apinya pun yang manual.

Waktu itu saya jarang menyalakan korek api, jadi saya menyalakan api dengan takut-takut, lantas dengan gugup menjatuhkan korek api yang masih menyala ke lubang sumbu. Beberapa kali demikian tanpa hasil karena apinya mati sebelum mencapai sumbu kompor. Kompor minyak tanah itu tetap membisu seperti meledek saya.

Akhirnya teman saya menyadari kebodohan saya yang tidak bisa menyalakan kompor. Dia baik dan tidak mengolok-olok saya, melainkan langsung mengambil alih pekerjaan dan menunjukkan hal paling sederhana yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

"Ini sumbunya harus dinaikkan dulu," tuturnya lembut sambil menarik tuas di sisi kompor dan perlahan sumbu naik, muncul di permukaan lubang yang melingkar tadi. Terlihat batang-batang korek api yang belum sepenuhnya terbakar mengotori sela-sela sumbu. 

Oh my God ... muka saya mungkin sudah merah seperti kepiting rebus. Akhirnya oleh teman, saya disuruh balik ke kelas dan dia melanjutkan acara menyeduh teh yang ribet bin riweuh dalam pikiran saya si anak manja, hahaha.

Setelah kebodohan satu itu, ada lagi kebodohan yang saya buat yaitu saat piket di koperasi sekolah. Saat saya bersekolah kelas 4 di Sumenep itu, kebetulan ada pemilihan ketua koperasi. Ketua koperasi harus dari kalangan murid. Entah karena saya pindahan dari kota besar, entah saya dianggap mampu, singkat cerita melalui proses penunjukan langsung, saya dipilih menjadi ketua koperasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline