Warungnya sederhana, tapi sebenarnya bukan di warung itu ia berjualan, melainkan di teras warung yang luas. Gerobaknya ada di sudut dekat jalan, sehingga siapapun bisa membeli jualannya tanpa harus masuk warung.
Dan yang kukira warung pun, sebenarnya adalah sebuah kantin kantor pemerintahan.
Aku ragu-ragu ketika Doni mengajakku makan siang di situ.
"Kantin kantor? Bukannya khusus buat pegawai kantor saja?" bisikku ketika turun dari boncengan motor Doni.
Doni hanya menggeleng, lalu setelah motornya terparkir rapi, ia menyapa mas-mas penjual mi ayam dengan sok akrab.
"Mas Narto, mi ayam e loro!" celetuk Doni memesan mi ayam dua porsi.
Doni menanyakan apa aku mau duduk di dalam kantin atau di teras saja, dan aku memilih di teras, agar lebih sejuk.
Mas Narto mulai meracik pesanan kami. Ia mengambil mi yang masih mentah, lalu memasukkan mi tersebut di dandang yang berisi air panas di gerobaknya.
"Mau minya agak keras atau empuk sekali?" Mas Narto bertanya.
"Empuk," jawabku ketika Doni menoleh dengan pandangan bertanya.