Belakangan ini aku sering melihat Tante Erlin bermata sembap.
Dia adik bungsu mama. Jarak usianya denganku hanya delapan tahun. Dia masih tinggal bersama kakek dan nenek karena belum menikah di usianya yang sudah lebih dari tiga puluh tahun.
Tante Erlin sudah bekerja sebagai ASN. Setiap berkunjung ke rumah kami, dia membawa banyak makanan. Tapi belakangan ini, dia lupa bawa makanan. Dia hanya bawa tangisan.
Walaupun aku cukup dekat dengan Tante Erlin, tapi aku enggan bertanya langsung. Sepertinya kali ini masalah cukup gawat, karena wajahnya demikian pucat.
Sore ini Tante Erlin datang lagi, sambil membawa martabak telur. Aku harap martabak itu lambang bahwa masalahnya sudah teratasi. Tante Erlin tersenyum tipis melihatku pulang dari main di mal, lalu berpamitan sambil berpesan agar aku makan martabaknya.
***
"Sebenarnya apa masalah Tante Erlin, Ma?" tanyaku sambil mencacah martabak dengan keempat taringku. Rasa gurih martabak dan asam dari acar bersatu di dalam mulut. Hmm, nikmat.
Mama meneguk teh dari cangkir bermotif bunga kesayangannya.
"Dia jatuh cinta pada orang yang salah," jawab mama singkat. Mataku membola, lalu meluncurlah cerita dari mulut mama.
Tante Erlin berkenalan dengan seseorang lalu jatuh cinta, meski tahu bahwa lelaki itu sudah memiliki istri dan anak. Tante Erlin bersedia menjadi istri kedua. Masalahnya, seorang ASN perempuan dilarang menjadi istri kedua, begitu peraturannya, kata mama.