Belajar itu seharusnya memang tiada ada akhirnya. Manusia yang berhenti belajar bisa dibilang sama saja dengan manusia yang sudah mati. Tentu saja belajar yang dimaksud di sini bukan duduk manis di kursi dengan meja di depan kita, membaca buku dengan khidmat. Bukan pula dengan duduk dalam ruang luas dan ada guru menerangkan sambil mencoret-coret papan tulis.
Makna belajar tentu adalah lebih dari itu. Kamu bahkan bisa belajar saat sedang asyik menonton sebuah drama Korea. Belajar makna kehidupan, belajar tentang nilai-nilai budaya yang berbeda, atau mungkin belajar bagaimana si penulis skenario ataupun sutradaranya dapat meramu kisah yang luar biasa yang sedang kamu tonton.
Kamu menonton tidak hanya sebagai penonton yang pasif, namun lebih dari itu, kamu belajar sesuatu.
Begitu juga saat sedang jalan-jalan sambil melihat-lihat sekitarmu. Jika kamu menggunakan pikiranmu dan tidak hanya sekadar kosong pikir, pasti kamu akan belajar sesuatu.
Saya sekarang sedang belajar. Dalam arti yang sesungguhnya, belajar melalui seorang guru. Saya berterima kasih kepada teknologi yang memungkinkan saya untuk belajar dari nama-nama besar yang dulu hanya bisa saya baca namanya di sampul buku karya mereka, atau di cerpen-cerpen sastra pada koran ternama.
Sekarang, dengan teknologi digital yang mendekatkan orang yang jauh - tapi (seharusnya tidak) menjauhkan orang yang dekat, saya bisa berinteraksi langsung dengan nama-nama besar itu, dalam kelas di ruang-ruang maya. Kelas via zoom maupun via whatsapp, kelas gratisan maupun berbayar.
Saat ini, kelas sedang berlangsung. Kata guru saya, kelas akan berlangsung selama satu bulan alias 30 hari. Setiap hari pak guru mengirimkan materi melalui email. Tertatih-tatih saya berusaha mengikuti kelas. Lagi-lagi alasan klise kesibukan pekerjaan, membuat saya tidak bisa setiap hari membuka email dan membaca semua materi berdaging yang guru saya kirimkan.
Materi pertama adalah tentang tulisan yang buruk. Menurut guru saya di dunia ini - di laporan-laporan jurnalistik di koran, di buku-buku yang dijual di toko buku, laporan-laporan penelitian - banyak beredar tulisan yang buruk. Kita terbiasa membaca tulisan yang buruk dan terkurung dengan itu semua, menjadikan kita akan merasa puas dengan tulisan kita - yang akhirnya menjadi sama buruknya.
Tidak ada jalan lain untuk meningkatkan kualitas tulisan kita, selain belajar dari tulisan-tulisan terbaik yang sudah diakui dunia. Maka guru saya menyarankan saya untuk mengumpulkan tujuh novel karya pemenang nobel sastra, membacanya setiap hari satu buku, dan menyalinnya di buku tulis atau di laptop.
Menyalin tulisan dari buku karya pemenang nobel itu, akan membuat kita membaca dengan sangat pelan, dan membiasakan tangan kita untuk menulis kalimat-kalimat yang sudah diakui merupakan kalimat yang baik.